2

 

        Tanya Yang Hilang

        “Nikah? Baru umur 26 tahun udah mikirin nikah, kerja juga baru 2 tahun. Apa kamu gak mau lihat adik-adik kamu lulus sekolah dulu?” Aku masih merekam dengan detail kalimat tersebut dalam ingatan. Itu adalah tanggapan ibu ketika anak gadisnya yang dulu tomboi tiba-tiba membahas tentang nikah. Padahal saat itu aku juga belum ada keinginan untuk menikah sama sekali.


Pada waktu itu aku mengunjungi ibu di rumah besar, aku menggunakan kata besar bukan untuk mewakili ukuran rumahnya melainkan jumlah kepala yang ada di dalamnya. Aku mendapat amanat dari salah seorang sahabatku yang bernama Ulfa untuk menyampaikan sebuah kabar baik yaitu kabar pernikahannya. Ibu turut diundang di hari bahagia Ulfa tersebut karena Ulfa merasa sangat dekat dengan ibu. Seperti kedekatan aku dengan mamanya Ulfa.

Ulfa adalah orang pertama yang akan melepas masa lajangnya diantara aku dan para sahabat. Aku turut bahagia mendengar kabar tersebut mengingat perjuangan Ulfa dan calon suami yang awalnya mendapat pertentangan dari orang tua Ulfa. Ungkapan jodoh tidak akan kemana memang benar adanya. Betapa pun rintangan yang menghalanginya, dua insan yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk berjodoh akan tetap bersatu, entah di dunia atau pun di akhirat.

Namun, rasa bahagia mendengar salah satu sahabat akan menikah itu kalah dengan rasa terkejut bahwa ternyata aku sudah dewasa dan pantas untuk menikah. Rasanya baru kemarin aku, Ulfa, Amira dan Najla duduk di kelas, mendengarkan dosen menerangkan mata kuliah sambil saling melempar candaan. Baru kemarin rasanya kami berempat menghabiskan akhir pekan di rumah Najla dengan alibi mengerjakan tugas tapi ternyata malah berujung saling curhat atau nonton film.

Selain waktu yang terasa cepat berlalu, ada hal lainnya yang terlintas dalam pikiranku saat akan menemui ibu untuk memberikan undangan pernikahan Ulfa. Apa nanti aku akan ditanyai “kapan nikah?” juga oleh ibu? Apakah ibu seperti orang tua lainnya yang latah saat mendengar kabar teman anaknya akan menikah lalu mendadak ingin anaknya pun juga cepat-cepat bertemu dengan pangeran yang akan membawa putrinya ke pelaminan? Mendadak aku menyesal menerima permintaan tolong Ulfa untuk memberikan undangan kepada ibu, harusnya kan dia sendiri yang datang memberikan.

Sampai di rumah besar, seperti biasa ibu sedang duduk di belakang mesin jahitnya. Pintu rumah dibiarkan terbuka begitu saja. Di depan rumah tepatnya di teras yang tidak terlalu besar, ibu juga membuka warung kecil-kecilan yang menjual beberapa makanan ringan dan kebutuhan rumah tangga. Oleh karena itu pintu rumah selalu dibiarkan terbuka terlepas ada atau tidaknya ibu di belakang mesin jahitnya.

Rumah besar terletak di sebuah persimpangan jalan. Tepat di samping rumah besar ada pangkalan ojek yang ramai dengan tukang ojek yang mencari nafkah dengan menawarkan jasa antar penumpang menggunakan sepeda motor. Ibu mengenal hampir semua tukang ojek yang mangkal disana karena terkadang mereka juga duduk di depan warung ibu sambil memesan segelas kopi panas. Tak jarang mereka berkeluh kesah dengan ibu mengenai susahnya kehidupan di zaman sekarang ini, penumpang yang sudah mulai sepi karena semakin banyak yang menggunakan jasa ojek online.

Begitu masuk dan melihat ibu yang sedang duduk di belakang mesin jahitnya, asik menggoyangkan kaki, ada rasa kesal menyelimuti hati. Aku sudah berkali- kali mengatakan kepada ibu untuk berhenti menerima pelanggan tetapi sepertinya omonganku hanya dianggap angin lalu oleh beliau. Menjahit dan berdagang sudah menjadi sumber penghasilan ibu semenjak ditinggal ayah. Dengan dua pekerjaan itulah ibu mampu membuatku menjadi seorang sarjana. Beberapa tahun yang lalu mungkin tubuh ibu masih cukup kuat untuk duduk berjam-jam, menyelesaikan jahitan baju pelanggan. Tetapi sekarang kondisi ibu sudah jauh berbeda. Seiring bertambahnya usia, tubuh beliau tentu tidak sekuat dulu lagi, tulang-tulang sudah mulai rapuh, penglihatan juga makin berkurang.

Setiap dilarang untuk menjahit ibu selalu bilang, “Ibu bosan kalau cuma duduk nungguin warung, mending duduk di situ, dapat juga tambahan buat biaya kuliah Siska,” ujar ibu sambil menunjuk ke arah mesin jahitnya.

Setelah mengucapkan salam dan mencium tangan ibu, aku masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Pemandangan ibu yang sedang menjahit itu sebenarnya sangat membuat hati ini patah. Tetapi aku juga lelah mengatakannya berulang kali karena ujung-ujungnya ibu tetap tidak mau dilarang. Apalagi kalau ibu sudah mengucapkan kalimat pamungkasnya, detik itu juga langsung hilang semua omelan yang akan aku sampaikan kepada beliau.

“Ibu itu bahagianya ya waktu menjahit, kalau duduk diam gak ngapa-ngapain itu ibu suka mikir yang aneh-aneh, kadang jadi ingat almarhum ayah.” Itulah kalimat pamungkas ibu yang langsung membungkam mulut kami semua, anak-anaknya.

“Bu, ini ada undangan. Ulfa mau nikah insyaallah dua minggu lagi.” kataku sambil menyodorkan sebuah undangan pernikahan berwarna ungu bermotif bunga-bunga kepada ibu. Namun ibu tidak langsung mengambilnya karena tangannya masih tekun memegang kain yang terbentang di atas mesin jahit. Alhasil aku mundur kembali ke tempat duduk dan meletakkan undangan tersebut di atas meja yang ada di hadapanku.

Aku menunggu reaksi ibu dengan perasaan campur aduk. Aneh, ada rasa penasaran yang sangat besar menghampiriku. Aku bahkan sudah menyiapkan jawaban jika nanti ibu mempertanyakan kapan giliranku untuk menyusul Ulfa, melabuhkan hati pada lelaki pilihan.

 Ternyata reaksi ibu jauh dari dugaanku. Reaksi ibu tidak seheboh yang aku bayangkan. Jangankan bertanya kapan aku menyusul langkah yang diambil Ulfa, beliau bahkan sama sekali tidak menghentikan pekerjaannya. Aku lega sekaligus bertanya-tanya kenapa respon ibu secuek itu. Apa mungkin karena aku sudah sering menceritakan tentang kisah percintaan Ulfa pada beliau?

“Dua minggu lagi tanggal berapa, ya? Kayaknya ibu juga ada undangan lain deh hari itu.” Sambil tetap menjahit hanya itu kalimat yang keluar dari mulut ibu. Apa-apaan itu? Kenapa ibu tidak kaget mendengar teman sepermainan anaknya akan menikah? Kenapa malah cuma bahas tanggal yang sebenarnya bisa ibu lihat sendiri di undangan nanti? Justru aku sendiri yang dibuat kaget dengan respon ibu.

“Sampaikan selamat dari ibu buat Ulfa, ya. Jadi juga dia sama putra Pak Kiyai itu?” Ternyata ada pertanyaan tambahan tapi tetap saja ini bukan pertanyaan yang aku duga.

“Iya, jadi Bu,” jawabku yang masih tidak percaya reaksi ibu akan sesantai itu. Selanjutnya ibu hanya mengangguk-angguk sambil terus menjahit. Sementara aku masih menunggu kapan ibu akan bertanya, ‘Kamu gimana? Kapan mau kenalin calon ke ibu?’

Namun, pertanyaan itu tak kunjung keluar dari mulut ibu. Aneh, harusnya aku senang tidak mendapatkan pertanyaan menyebalkan itu dari ibu. Kenapa sekarang aku malah terkesan ingin sekali ditanyai ‘kapan nikah?’ oleh ibu? Akhirnya karena begitu penasaran, keluarlah kalimat yang aku pun tidak menduga bisa keluar dari mulutku.

“Gak nyangka ya, Bu, sahabatku udah mau nikah aja. Bentar lagi mungkin aku yang dilamar orang,” ujarku sambil tertawa kecil di ujung kalimat. Padahal aku tidak ada maksud apa-apa mengatakan itu. Kata-kata itu keluar begitu saja. Tetapi respon ibu justru heboh. Seheboh yang aku pikirkan saat ibu mendengar kabar pernikahan Ulfa.

“Nikah? Baru umur 26 tahun udah mikirin nikah, kerja juga baru 2 tahun. Apa kamu gak mau lihat adik-adik kamu lulus sekolah dulu?” Ibu mengucapkan kata-kata tersebut sambil melihat ke arahku dan menghentikan pekerjaannya. Beliau memandangku beberapa saat dari balik kacamatanya lalu kembali asik dengan mesin jahitnya tanpa menunggu jawaban dariku.

“Menikah itu kalau udah siap secara mental dan finansial. Kalau ibu lihat, Ulfa udah punya kedua bekal itu. Lah, kamu?” lanjut ibu kemudian. Aku masih memikirkan jawaban, ibu sudah melanjutkan kalimatnya lagi, “Meskipun yang punya kewajiban menafkahi itu suami tapi kita sebagai perempuan juga harus punya tabungan sendiri untuk bekal jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.”

Kemudian hening. Baik aku maupun ibu sama-sama terdiam. Aku masih berusaha mencerna maksud dari kalimat yang ibu ucapkan paling akhir. Apa maksudnya bekal jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan? Pikiranku langsung melayang jauh kepada saat ibu yang begitu cepat ditinggal ayah wafat sementara saat itu ibu benar-benar menggantungkan nafkah sepenuhnya dari ayah. Apa itu yang dimaksud ibu dengan sesuatu yang tidak diharapkan?

Lalu aku juga teringat mengenai biduk rumah tangga Kak Sofi yang bisa dibilang sudah di ujung tanduk. Pertengkaran yang hampir setiap malam terjadi itu pemicunya adalah ketidakmampuan Kak Ridwan dalam memberikan nafkah kepada istri dan anaknya. Tadinya itu bukanlah masalah besar karena dari awal Kak Sofi juga sudah tahu penghasilan Kak Ridwan tidak tetap, berbeda dengannya yang bekerja di sebuah perusahaan dan jenjang karirnya juga jelas, penghasilan pun tetap bahkan cenderung naik setiap tahunnya.

Seharusnya Kak Sofi sudah siap menghadapi situasi ini, hanya saja masalahnya tidak sebatas masalah nafkah lahir yang tidak didapat tetapi juga nafkah batin yang semakin hari semakin jarang ia rasakan. Seingatku sudah dua bulan terakhir Kak Ridwan sering tidur di kursi ruang tamu. Kak Sofi yang melarangnya untuk tidur di kamar. Aku juga pernah mendengar Kak Sofi mengatakan ‘perempuan itu’ beberapa kali, saat ia dan suaminya sedang cekcok. Dari situ aku sadar, Kak Sofi siap menghadapi kondisi finansial suami yang tidak stabil tetapi tidak siap menghadapi suami yang mempunya perempuan simpanan. Tentu saja, perempuan mana pun tidak akan siap.

Pertanyaan dalam kepalaku jadi semakin beranak-pinak. Mencoba menerka apa maksud ibu mengatakan hal seperti tadi kepada anak gadisnya yang paling besar yang belum menikah. Apa karena finansialku dianggap belum siap untuk menikah karena masih bekerja sebagai pegawai kontrak yang sewaktu-waktu bisa di-PHK? Apa sebenarnya ibu takut jika aku menikah, nasib rumah tanggaku seperti apa yang dialami oleh Kak Sofi sekarang? Atau ibu hanya takut jika aku menikah nanti, aku abai mengenai tanggungjawabku untuk membantu ibu membiayai sekolah adik-adik?

0 Comments