Tanya Yang Hilang
“Nikah? Baru umur 26 tahun udah mikirin nikah, kerja juga
baru 2 tahun. Apa kamu gak mau lihat adik-adik kamu lulus sekolah dulu?” Aku
masih merekam dengan detail kalimat tersebut dalam ingatan. Itu adalah
tanggapan ibu ketika anak gadisnya yang dulu tomboi tiba-tiba membahas tentang
nikah. Padahal saat itu aku juga belum ada keinginan untuk menikah sama sekali.
Pada waktu itu aku mengunjungi ibu di rumah besar, aku
menggunakan kata besar bukan untuk mewakili ukuran rumahnya melainkan jumlah
kepala yang ada di dalamnya. Aku mendapat amanat dari salah seorang sahabatku
yang bernama Ulfa untuk menyampaikan sebuah kabar baik yaitu kabar
pernikahannya. Ibu turut diundang di hari bahagia Ulfa tersebut karena Ulfa
merasa sangat dekat dengan ibu. Seperti kedekatan aku dengan mamanya Ulfa.
Ulfa adalah orang pertama yang akan melepas masa
lajangnya diantara aku dan para sahabat. Aku turut bahagia mendengar kabar
tersebut mengingat perjuangan Ulfa dan calon suami yang awalnya mendapat
pertentangan dari orang tua Ulfa. Ungkapan jodoh tidak akan kemana memang benar
adanya. Betapa pun rintangan yang menghalanginya, dua insan yang sudah ditetapkan
oleh Allah untuk berjodoh akan tetap bersatu, entah di dunia atau pun di
akhirat.
Namun, rasa bahagia mendengar salah satu sahabat akan
menikah itu kalah dengan rasa terkejut bahwa ternyata aku sudah dewasa dan
pantas untuk menikah. Rasanya baru kemarin aku, Ulfa, Amira dan Najla duduk di
kelas, mendengarkan dosen menerangkan mata kuliah sambil saling melempar
candaan. Baru kemarin rasanya kami berempat menghabiskan akhir pekan di rumah
Najla dengan alibi mengerjakan tugas tapi ternyata malah berujung saling curhat
atau nonton film.
Selain waktu yang terasa cepat berlalu, ada hal lainnya
yang terlintas dalam pikiranku saat akan menemui ibu untuk memberikan undangan
pernikahan Ulfa. Apa nanti aku akan ditanyai “kapan nikah?” juga oleh ibu?
Apakah ibu seperti orang tua lainnya yang latah saat mendengar kabar teman
anaknya akan menikah lalu mendadak ingin anaknya pun juga cepat-cepat bertemu
dengan pangeran yang akan membawa putrinya ke pelaminan? Mendadak aku menyesal
menerima permintaan tolong Ulfa untuk memberikan undangan kepada ibu, harusnya
kan dia sendiri yang datang memberikan.
Sampai di rumah besar, seperti biasa ibu sedang duduk di
belakang mesin jahitnya. Pintu rumah dibiarkan terbuka begitu saja. Di depan
rumah tepatnya di teras yang tidak terlalu besar, ibu juga membuka warung
kecil-kecilan yang menjual beberapa makanan ringan dan kebutuhan rumah tangga.
Oleh karena itu pintu rumah selalu dibiarkan terbuka terlepas ada atau tidaknya
ibu di belakang mesin jahitnya.
Rumah besar terletak di sebuah persimpangan jalan. Tepat
di samping rumah besar ada pangkalan ojek yang ramai dengan tukang ojek yang
mencari nafkah dengan menawarkan jasa antar penumpang menggunakan sepeda motor.
Ibu mengenal hampir semua tukang ojek yang mangkal disana karena terkadang
mereka juga duduk di depan warung ibu sambil memesan segelas kopi panas. Tak
jarang mereka berkeluh kesah dengan ibu mengenai susahnya kehidupan di zaman
sekarang ini, penumpang yang sudah mulai sepi karena semakin banyak yang
menggunakan jasa ojek online.
Begitu masuk dan melihat ibu yang sedang duduk di
belakang mesin jahitnya, asik menggoyangkan kaki, ada rasa kesal menyelimuti
hati. Aku sudah berkali- kali mengatakan kepada ibu untuk berhenti menerima
pelanggan tetapi sepertinya omonganku hanya dianggap angin lalu oleh beliau.
Menjahit dan berdagang sudah menjadi sumber penghasilan ibu semenjak ditinggal
ayah. Dengan dua pekerjaan itulah ibu mampu membuatku menjadi seorang sarjana.
Beberapa tahun yang lalu mungkin tubuh ibu masih cukup kuat untuk duduk
berjam-jam, menyelesaikan jahitan baju pelanggan. Tetapi sekarang kondisi ibu
sudah jauh berbeda. Seiring bertambahnya usia, tubuh beliau tentu tidak sekuat
dulu lagi, tulang-tulang sudah mulai rapuh, penglihatan juga makin berkurang.
Setiap dilarang untuk menjahit ibu selalu bilang, “Ibu
bosan kalau cuma duduk nungguin warung, mending duduk di situ, dapat juga
tambahan buat biaya kuliah Siska,” ujar ibu sambil menunjuk ke arah mesin
jahitnya.
Setelah mengucapkan salam dan mencium tangan ibu, aku
masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Pemandangan ibu yang sedang menjahit itu
sebenarnya sangat membuat hati ini patah. Tetapi aku juga lelah mengatakannya
berulang kali karena ujung-ujungnya ibu tetap tidak mau dilarang. Apalagi kalau
ibu sudah mengucapkan kalimat pamungkasnya, detik itu juga langsung hilang
semua omelan yang akan aku sampaikan kepada beliau.
“Ibu itu bahagianya ya waktu menjahit, kalau duduk diam
gak ngapa-ngapain itu ibu suka mikir yang aneh-aneh, kadang jadi ingat almarhum
ayah.” Itulah kalimat pamungkas ibu yang langsung membungkam mulut kami semua,
anak-anaknya.
“Bu, ini ada undangan. Ulfa mau nikah insyaallah dua
minggu lagi.” kataku sambil menyodorkan sebuah undangan pernikahan berwarna
ungu bermotif bunga-bunga kepada ibu. Namun ibu tidak langsung mengambilnya
karena tangannya masih tekun memegang kain yang terbentang di atas mesin jahit.
Alhasil aku mundur kembali ke tempat duduk dan meletakkan undangan tersebut di
atas meja yang ada di hadapanku.
Aku menunggu reaksi ibu dengan perasaan campur aduk.
Aneh, ada rasa penasaran yang sangat besar menghampiriku. Aku bahkan sudah
menyiapkan jawaban jika nanti ibu mempertanyakan kapan giliranku untuk menyusul
Ulfa, melabuhkan hati pada lelaki pilihan.
Ternyata reaksi
ibu jauh dari dugaanku. Reaksi ibu tidak seheboh yang aku bayangkan. Jangankan
bertanya kapan aku menyusul langkah yang diambil Ulfa, beliau bahkan sama
sekali tidak menghentikan pekerjaannya. Aku lega sekaligus bertanya-tanya
kenapa respon ibu secuek itu. Apa mungkin karena aku sudah sering menceritakan
tentang kisah percintaan Ulfa pada beliau?
“Dua minggu lagi tanggal berapa, ya? Kayaknya ibu juga
ada undangan lain deh hari itu.” Sambil tetap menjahit hanya itu kalimat yang
keluar dari mulut ibu. Apa-apaan itu? Kenapa ibu tidak kaget mendengar teman
sepermainan anaknya akan menikah? Kenapa malah cuma bahas tanggal yang
sebenarnya bisa ibu lihat sendiri di undangan nanti? Justru aku sendiri yang
dibuat kaget dengan respon ibu.
“Sampaikan selamat dari ibu buat Ulfa, ya. Jadi juga dia
sama putra Pak Kiyai itu?” Ternyata ada pertanyaan tambahan tapi tetap saja ini
bukan pertanyaan yang aku duga.
“Iya, jadi Bu,” jawabku yang masih tidak percaya reaksi
ibu akan sesantai itu. Selanjutnya ibu hanya mengangguk-angguk sambil terus
menjahit. Sementara aku masih menunggu kapan ibu akan bertanya, ‘Kamu gimana?
Kapan mau kenalin calon ke ibu?’
Namun, pertanyaan itu tak kunjung keluar dari mulut ibu.
Aneh, harusnya aku senang tidak mendapatkan pertanyaan menyebalkan itu dari
ibu. Kenapa sekarang aku malah terkesan ingin sekali ditanyai ‘kapan nikah?’
oleh ibu? Akhirnya karena begitu penasaran, keluarlah kalimat yang aku pun
tidak menduga bisa keluar dari mulutku.
“Gak nyangka ya, Bu, sahabatku udah mau nikah aja. Bentar
lagi mungkin aku yang dilamar orang,” ujarku sambil tertawa kecil di ujung
kalimat. Padahal aku tidak ada maksud apa-apa mengatakan itu. Kata-kata itu
keluar begitu saja. Tetapi respon ibu justru heboh. Seheboh yang aku pikirkan
saat ibu mendengar kabar pernikahan Ulfa.
“Nikah? Baru umur 26 tahun udah mikirin nikah, kerja juga
baru 2 tahun. Apa kamu gak mau lihat adik-adik kamu lulus sekolah dulu?” Ibu
mengucapkan kata-kata tersebut sambil melihat ke arahku dan menghentikan
pekerjaannya. Beliau memandangku beberapa saat dari balik kacamatanya lalu
kembali asik dengan mesin jahitnya tanpa menunggu jawaban dariku.
“Menikah itu kalau udah siap secara mental dan finansial.
Kalau ibu lihat, Ulfa udah punya kedua bekal itu. Lah, kamu?” lanjut ibu
kemudian. Aku masih memikirkan jawaban, ibu sudah melanjutkan kalimatnya lagi,
“Meskipun yang punya kewajiban menafkahi itu suami tapi kita sebagai perempuan
juga harus punya tabungan sendiri untuk bekal jika terjadi sesuatu yang tidak
diharapkan.”
Kemudian hening. Baik aku maupun ibu sama-sama terdiam.
Aku masih berusaha mencerna maksud dari kalimat yang ibu ucapkan paling akhir.
Apa maksudnya bekal jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan? Pikiranku
langsung melayang jauh kepada saat ibu yang begitu cepat ditinggal ayah wafat sementara
saat itu ibu benar-benar menggantungkan nafkah sepenuhnya dari ayah. Apa itu
yang dimaksud ibu dengan sesuatu yang tidak diharapkan?
Lalu aku juga teringat mengenai biduk rumah tangga Kak
Sofi yang bisa dibilang sudah di ujung tanduk. Pertengkaran yang hampir setiap
malam terjadi itu pemicunya adalah ketidakmampuan Kak Ridwan dalam memberikan
nafkah kepada istri dan anaknya. Tadinya itu bukanlah masalah besar karena dari
awal Kak Sofi juga sudah tahu penghasilan Kak Ridwan tidak tetap, berbeda dengannya
yang bekerja di sebuah perusahaan dan jenjang karirnya juga jelas, penghasilan
pun tetap bahkan cenderung naik setiap tahunnya.
Seharusnya Kak Sofi sudah siap menghadapi situasi ini,
hanya saja masalahnya tidak sebatas masalah nafkah lahir yang tidak didapat
tetapi juga nafkah batin yang semakin hari semakin jarang ia rasakan. Seingatku
sudah dua bulan terakhir Kak Ridwan sering tidur di kursi ruang tamu. Kak Sofi
yang melarangnya untuk tidur di kamar. Aku juga pernah mendengar Kak Sofi
mengatakan ‘perempuan itu’ beberapa kali, saat ia dan suaminya sedang cekcok.
Dari situ aku sadar, Kak Sofi siap menghadapi kondisi finansial suami yang
tidak stabil tetapi tidak siap menghadapi suami yang mempunya perempuan
simpanan. Tentu saja, perempuan mana pun tidak akan siap.
Pertanyaan dalam kepalaku jadi semakin beranak-pinak.
Mencoba menerka apa maksud ibu mengatakan hal seperti tadi kepada anak gadisnya
yang paling besar yang belum menikah. Apa karena finansialku dianggap belum
siap untuk menikah karena masih bekerja sebagai pegawai kontrak yang
sewaktu-waktu bisa di-PHK? Apa sebenarnya ibu takut jika aku menikah, nasib
rumah tanggaku seperti apa yang dialami oleh Kak Sofi sekarang? Atau ibu hanya
takut jika aku menikah nanti, aku abai mengenai tanggungjawabku untuk membantu
ibu membiayai sekolah adik-adik?
0 Comments