3

Tentang Tanggung Jawab




            Bekerja sebagai seorang front office di sebuah Bimbingan Belajar (bimblel) membuatku jadi sering tanpa sadar menatap ke arah jalan raya saat sedang tidak ada kerjaan. Seperti sore ini selepas salat ashar, sambil menunggu jam pulang kerja, aku duduk di kursi dan memperhatikan kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Melihat orang-orang dan kendaraan yang keluar masuk gerbang. Beberapa karyawan sudah banyak yang terlihat meninggalkan kantor tapi aku memilih menunggu hingga jam yang disepakati datang.

            Menurut peraturan kantor, jam pulang normal itu adalah pukul 5 sore. Akan tetapi banyak karyawan yang terbiasa pulang setelah menunaikan salat ashar. Aku pun pernah melakukannya, namun berujung teguran dari atasanku. Bahkan aku masih mengingat bagaimana ekspresi beliau saat aku memasuki ruangannya kala dipanggil saat itu. Pria paruh baya tersebut menurunkan sedikit kacamatanya untuk melihatku lalu memastikan namaku. Jujur, selama aku bekerja, baru sekali itu aku dipanggil ke ruangan atasan dan itu adalah pertemuan keduaku dengan beliau. Yang pertama kali adalah saat aku di interview.

            Setelah mempersilahkanku untuk duduk, beliau menghentikan sejenak kesibukannya dan mengaitkan kedua tangan lalu menaruhnya di bawah dagu. Beliau menatapku sambil menggelengkan kepala dan hal itu memaksaku untuk menunduk. Aku pikir detik itu juga aku akan kehilangan mata pencarian. Intonasi suaranya sangat kontras dengan apa yang ia ucapkan. Beliau tidak membentak, justru setiap kata demi kata yang keluar dari mulutnya terdengar sangat lembut. Namun, setiap kata demi kata itu juga penuh dengan sindiran yang membuat siapapun yang mendengarkan juga tahu bahwa beliau sedang marah.

            Pada waktu itu beliau benar-benar berbeda dari sosok yang aku temui saat interview. Seperti memiliki dua kepribadian yang berbeda. Setiap kata yang keluar dari mulut seorang Lintang Harahap pada saat itu benar-benar berhasil membuatku malu. Mungkin hal ini yang membuatnya bisa menjadi seorang pemimpin. Aku malu akan kesalahanku dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulanginya. Aku sama sekali tidak ingin berada dalam situasi seperti itu lagi untuk kedua kalinya.   

Aku ditegur karena tidak peka dengan posisiku sebagai seorang front office. Waktu itu aku baru 3 bulan bekerja dan belum punya partner yang duduk di sebelahku seperti sekarang. Aku lupa atau bahkan mungkin abai bahwa posisiku itu adalah garda terdepan sebuah kantor yang bergerak di bidang jasa dan pelayanan. Cahaya Ilmu adalah sebuah Perusahaan Swasta yang memberikan jasa berupa bimbingan belajar bagi para siswa dan siswi yang akan melanjutkan sekolah ke jenjang Universitas.

Sebagai karyawan yang ditempatkan pada garda terdepan, setiap orang yang melangkahkan kakinya masuk ke dalam bangunan tiga lantai ini sudah pasti akan diarahkan kepadaku oleh petugas satpam. Akulah yang mereka harapkan dapat memberikan informasi yang mereka cari. Dari informasi dasar seperti syarat dan biaya pendaftaran sampai pada infomasi  yang dibutuhkan murid bimbel kami seperti jadwal belajar, mentor yang akan memberikan materi hari itu dan informasi penting lainnya. Bayangkan jika kursi yang aku duduki dengan segala macam tanggungjawab yang ada di dalamnya itu kosong?

Calon pendaftar akan langsung balik kanan dan kalau memang sudah bulat tekadnya untuk mendaftar di bimbel kami, mungkin akan datang kembali besok. Murid bimbel akan kesal dan bercerita kepada temannya bahwa bimbel kami tidak profesional dan tidak masuk rekomendasi. Berapa kerugian yang akan ditanggung oleh Cahaya Ilmu hanya karena aku secara egois memilih untuk pulang satu jam sebelum jam kerja berakhir? Tidak heran, Lintang Harahap memanggil dan memberiku surat teguran pertama. Ini bukan hanya soal bisnis tetapi juga responsibilitas.

Semenjak saat itu aku selalu pulang jika jarum jam sudah menunjukkan angka 5 lebih 5 menit. Alhasil, bila sehabis asar kerjaan sudah selesai dan tidak ada tamu lagi, aku biasanya menghabiskan waktu untuk melihat-lihat instagram atau seperti yang aku lakukan sekarang ini, melamun. Sebenarnya aku tidak melamun, hanya memperhatikan apa yang ada di depan sana karena menurutku hal itu tidak selalu membosankan. Terkadang ada beberapa peristiwa menarik yang terjadi selagi aku menatap ke arah gerbang dan jalan raya.

 “Kak!” Sebuah suara yang sangat nyaring yang sudah tidak asing bagiku disertai tepukan yang cukup keras di pundak kiri membuatku cukup terhenyak dibuatnya. Apa artinya barusan aku sedang melamun, ya? Atau memang karena rekanku yang satu ini memang terlalu berlebihan untuk sekedar memanggil.

“Astaghfirullahal’adzim. Ngagetin aja sih, Ran. Udah gitu, sakit nih.” ujarku sambil memasang muka sedih sekaligus kesal pada pemilik suara nyaring tadi.

“Hehehe. Maaf, Kak. Habis kakak tadi dipanggil sekali gak nyahut, dua kali pun sama. Makanya ketiga kali aku sekalian pakai gerakan.” jawab Rani membela diri. Aku kok kurang yakin ya dengan ucapannya, masa iya aku dua kali dipanggil diam saja? Padahal tempat duduk kita dekat sekali, sebelah-sebelahan.

“Masa, sih? Ah, kamu pasti manggilnya dalam hati.” Aku ikut membela diri karena masih tidak percaya seseorang seperti aku bisa melamun. Ekspresi wajah Rani berubah menjadi datar karena kesal dengan tuduhanku.

“Ya kali, Kak, manggil orang dalam hati.”

“Loh, ada tau, Ran, dalam lirik lagu galau kan suka begitu.” ujarku diakhiri dengan cekikikan.

“Ciee, Kakak lagi galau, ya? Kenapa sih, Kak? Mikirin doi yang gak nembak-nembak? Atau doi yang entah dimana?” Gantian Rani yang cekikikan sekarang, bahkan gadis yang periang itu sekarang tertawa cukup keras sehingga barisan giginya yang rapi terlihat dengan jelas. Tanpa menunggu tanggapanku, Rani lanjut berkata sambil melirik ke arah jam dinding kantor, “Kak, ayo pulang! Udah jam lewat 5 menit tuh.”

Aku pun melihat jam di layar ponsel, Rani benar, ini sudah waktunya kami sebagai front office boleh pulang tanpa takut akan diperkarakan. Aku memasukkan handphone berikut beberapa perintilan lain yang ada di meja ke dalam sebuah ransel mungil. Tak lupa aku mengambil kunci motor, benda penting yang sering aku lupakan keberadaannya.

“Kak. Kayaknya chargerku ketinggalan, aku balik ke dalam bentar, ya.” ujar Rani yang semenjak memasuki parkiran tadi memang sibuk memeriksa tasnya, mengecek sekali lagi apakah ada barang yang ketinggalan. Belum aku jawab, gadis itu sudah berbalik dan berjalan cepat, mungkin dia tidak enak, sudah menumpang masih memintaku untuk menunggu. Aku memang hampir setiap hari memberi tumpangan kepada Rani sampai sebuah persimpangan yang memisahkan rumahku dan rumahnya. Dari persimpangan tersebut, Rani naik angkot atau memesan ojek online, tergantung mood-nya, ke arah kiri. Sedangkan rumahku ke arah sebaliknya.

            Aku lanjut berjalan ke arah sepeda motorku diparkir. Dari jauh ku lihat seseorang juga sedang berdiri di sebelah sepeda motornya yang berada tepat di depan punyaku. Aku langsung tahu bahwa sepeda motor milikku menghalangi jalan keluar sepeda motor kepunyaannya. Aku mempercepat langkah, lebih tepatnya berlari kecil ke arahnya. Dengan sigap aku memundurkan motorku yang memang tidak ada penghalang di belakangnya layaknya seorang juru parkir. Laki-laki itu tersenyum sambil mengangguk yang menurutku adalah tanda terima kasihnya kepadaku. Aku juga membalas dengan sebuah anggukkan dan senyuman yang mugkin tidak terlihat olehnya karena tertutup oleh masker yang sudah ke kenakan semenjak keluar dari kantor.

            Setelah laki-laki itu melajukan kendaraannya menjauh dariku, aku baru sadar bahwa aku belum pernah melihat dia sebelumnya di lingkungan kantor. Memang selalu ada wajah asing yang keluar masuk tempat bimbel kami tapi rata-rata semua adalah murid bimbel. Sedangkan wajah laki-laki itu menurutku terlalu tua untuk dianggap sebagai seorang murid bimbel. Setahu dia juga bukan salah satu mentor di sini.

            “Yuk, Kak! Udah, nih.” ajak Rani yang tiba-tiba sudah duduk di jok belakang sepeda motor. Lagi-lagi aku dibuat kaget oleh Rani, padahal sepertinya dia tidak berteriak seperti di kantor tadi. Mungkin karena barusan pikiranku dipenuhi oleh pertanyaan tentang siapa laki-laki tinggi semampai tadi?

            “Ran, memang ada mentor baru ya di Cahaya Ilmu?” Rasa penasaranku berlanjut. Sambil mengendarai motor dengan cukup santai, aku berusaha mencari informasi dari Rani.

            “Setahuku enggak ada, Kak. Emang kenapa?”

            “Tadi di parkiran, aku lihat orang asing gitu. Bukan peserta bimbel, karena dari wajahnya kisaran umur 25 ke atas deh kayaknya.”

            “Cewek atau cowok, Kak?”

            “Cowok.”

            “Cakep gak, Kak?” tanya Rani yang selalu antusias jika sudah membicarakan lawan jenis. Gadis yang usianya tiga tahun lebih muda dariku ini terang-terangan mengaku sudah sangat ingin menikah.

            “Cakep gak yaaa?” ujarku sengaja menggantungkan kalimat di akhir.

            “Hmm. Kalau jawabannya kayak gitu, pasti cakep. Semoga besok dia nongol lagi di kantor, biar aku bisa ikutan kenalan.”

            “Eh, kok kamu ambil kesimpulan sendiri? Lagian cakep atau enggak itu kan relatif. Bisa aja menurutku cakep, tapi menurut kamu enggak.”

            “Habisnya kakak jawabnya begitu. Kalau gak cakep, pasti kakak bakalan jawab, ‘Biasa aja, Ran,’gitu, Kak.”

            “Ooo begitu, ya? Teori dari mana tuh?”

            “Teori aku sendiri dong.” jawab Rani. Kami berdua pun tertawa.

Rani benar juga sih, kalau gak cakep ya harusnya aku tinggal jawab seperti yang dia katakan. Tapi aku justru memberikan jawaban yang penuh tidak ketidakpastian. Artinya jawabanku 50:50 dong, ya. Aku menganalisa sendiri dalam pikiran tentang apa yang disampaikan Rani barusan.

Meski dia lebih muda dariku, tetapi Rani punya pengalaman lebih banyak soal lawan jenis. Dia sudah mengenal berbagai macam karakter laki-laki. Gadis yang menurutku cantik ini sudah memantapkan hati untuk menikah semenjak usianya 23 tahun. Aku di usia itu masih sibuk nonton drama Korea deh kayaknya.

Sayangnya, sampai sekarang belum ada yang berjodoh dengannya. Rani terus menebar pesona dimana-mana. Ia bahkan tidak pernah malu-malu untuk memulai PDKT dengan seorang laki-laki yang ia anggap memenuhi kriterianya. Oh, iya, Rani tidak memasang target terlalu tinggi untuk kriteria calon suami. Dia pernah bilang kalau dia hanya butuh yang setia, seiman, punya penghasilan dan bisa nyetir mobil. Iya, bagi Rani itu syarat yang tidak terlalu tinggi. Gak paham juga kenapa dia selalu ingin disetirin sama suaminya kelak sekalipun mereka belum punya mobil pribadi. Setidaknya sesekali bisa sewa mobil hanya untuk melancong berdua suami dan disetirin. Keinginan yang menurutku simpel tapi semoga itu bukan satu-satunya tujuan Rani ingin menikah secepatnya.

Namun, setidaknya Rani sudah ada tujuan apa yang ingin ia capai setelah menikah. Beda sekali denganku yang sama sekali belum memikirkan tentang sebuah pernikahan. Aku hanya tahu bahwa menikah itu adalah sunah rasul dan tujuannya untuk menyempurnakan agama. Lalu setelah itu apa? Tinggal berdua sambil melanjutkan kehidupan masing-masing? Jika sedang akur dan tidak ada masalah, rumah tangga akan berjalan terus. Tetapi jika ada masalah akan menimbulkan pertengkaran dan saling membentak satu sama lain?

Bukan, sudah pasti bukan itu yang islam janjikan dalam Al Quran. Kalau tidak salah, aku pernah membaca tafsir salah satu ayat dalam Al Quran yang aku baca di instagram bahwa menikah itu untuk mendapatkan ketenangan yang tidak akan didapatkan bila seseorang masih single. Lalu, bagaimana caranya kita tahu bahwa seseorang yang akan kita jadikan pasangan hidup tersebut akan memberikan ketenangan pada kita? Atau sebaliknya bagaimana kita bisa tahu bahwa kehadiran kita dalam hidup seseorang mampu memberikan ketenangan baginya?

            Jadi, menurutku menikah itu bukan sekedar tentang tujuan melainkan tanggungjawab untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai dalam berumah tangga. Bukan tujuanku atau tujuannya melainkan tujuan sepasang manusia yang memutuskan menikah tersebut. Jika salah satu masih punya sifat egois, mana bisa? 

0 Comments