Tentang Tanggung Jawab
Bekerja sebagai seorang front office di sebuah Bimbingan Belajar (bimblel) membuatku jadi
sering tanpa sadar menatap ke arah jalan raya saat sedang tidak ada kerjaan.
Seperti sore ini selepas salat ashar, sambil menunggu jam pulang kerja, aku
duduk di kursi dan memperhatikan kendaraan yang lalu lalang di jalan raya.
Melihat orang-orang dan kendaraan yang keluar masuk gerbang. Beberapa karyawan
sudah banyak yang terlihat meninggalkan kantor tapi aku memilih menunggu hingga
jam yang disepakati datang.
Menurut
peraturan kantor, jam pulang normal itu adalah pukul 5 sore. Akan tetapi banyak
karyawan yang terbiasa pulang setelah menunaikan salat ashar. Aku pun pernah
melakukannya, namun berujung teguran dari atasanku. Bahkan aku masih mengingat
bagaimana ekspresi beliau saat aku memasuki ruangannya kala dipanggil saat itu.
Pria paruh baya tersebut menurunkan sedikit kacamatanya untuk melihatku lalu
memastikan namaku. Jujur, selama aku bekerja, baru sekali itu aku dipanggil ke
ruangan atasan dan itu adalah pertemuan keduaku dengan beliau. Yang pertama
kali adalah saat aku di interview.
Setelah
mempersilahkanku untuk duduk, beliau menghentikan sejenak kesibukannya dan
mengaitkan kedua tangan lalu menaruhnya di bawah dagu. Beliau menatapku sambil
menggelengkan kepala dan hal itu memaksaku untuk menunduk. Aku pikir detik itu
juga aku akan kehilangan mata pencarian. Intonasi suaranya sangat kontras
dengan apa yang ia ucapkan. Beliau tidak membentak, justru setiap kata demi
kata yang keluar dari mulutnya terdengar sangat lembut. Namun, setiap kata demi
kata itu juga penuh dengan sindiran yang membuat siapapun yang mendengarkan
juga tahu bahwa beliau sedang marah.
Pada
waktu itu beliau benar-benar berbeda dari sosok yang aku temui saat interview. Seperti memiliki dua
kepribadian yang berbeda. Setiap kata yang keluar dari mulut seorang Lintang
Harahap pada saat itu benar-benar berhasil membuatku malu. Mungkin hal ini yang
membuatnya bisa menjadi seorang pemimpin. Aku malu akan kesalahanku dan berjanji
pada diri sendiri untuk tidak mengulanginya. Aku sama sekali tidak ingin berada
dalam situasi seperti itu lagi untuk kedua kalinya.
Aku ditegur karena tidak peka dengan posisiku sebagai
seorang front office. Waktu itu aku
baru 3 bulan bekerja dan belum punya partner
yang duduk di sebelahku seperti sekarang. Aku lupa atau bahkan mungkin abai
bahwa posisiku itu adalah garda terdepan sebuah kantor yang bergerak di bidang
jasa dan pelayanan. Cahaya Ilmu adalah sebuah Perusahaan Swasta yang memberikan
jasa berupa bimbingan belajar bagi para siswa dan siswi yang akan melanjutkan
sekolah ke jenjang Universitas.
Sebagai karyawan yang ditempatkan pada garda terdepan,
setiap orang yang melangkahkan kakinya masuk ke dalam bangunan tiga lantai ini
sudah pasti akan diarahkan kepadaku oleh petugas satpam. Akulah yang mereka
harapkan dapat memberikan informasi yang mereka cari. Dari informasi dasar
seperti syarat dan biaya pendaftaran sampai pada infomasi yang dibutuhkan murid bimbel kami seperti
jadwal belajar, mentor yang akan memberikan materi hari itu dan informasi
penting lainnya. Bayangkan jika kursi yang aku duduki dengan segala macam
tanggungjawab yang ada di dalamnya itu kosong?
Calon pendaftar akan langsung balik kanan dan kalau
memang sudah bulat tekadnya untuk mendaftar di bimbel kami, mungkin akan datang
kembali besok. Murid bimbel akan kesal dan bercerita kepada temannya bahwa
bimbel kami tidak profesional dan tidak masuk rekomendasi. Berapa kerugian yang
akan ditanggung oleh Cahaya Ilmu hanya karena aku secara egois memilih untuk
pulang satu jam sebelum jam kerja berakhir? Tidak heran, Lintang Harahap
memanggil dan memberiku surat teguran pertama. Ini bukan hanya soal bisnis
tetapi juga responsibilitas.
Semenjak saat itu aku selalu pulang jika jarum jam sudah
menunjukkan angka 5 lebih 5 menit. Alhasil, bila sehabis asar kerjaan sudah
selesai dan tidak ada tamu lagi, aku biasanya menghabiskan waktu untuk
melihat-lihat instagram atau seperti yang aku lakukan sekarang ini, melamun.
Sebenarnya aku tidak melamun, hanya memperhatikan apa yang ada di depan sana
karena menurutku hal itu tidak selalu membosankan. Terkadang ada beberapa
peristiwa menarik yang terjadi selagi aku menatap ke arah gerbang dan jalan
raya.
“Kak!” Sebuah
suara yang sangat nyaring yang sudah tidak asing bagiku disertai tepukan yang
cukup keras di pundak kiri membuatku cukup terhenyak dibuatnya. Apa artinya
barusan aku sedang melamun, ya? Atau memang karena rekanku yang satu ini memang
terlalu berlebihan untuk sekedar memanggil.
“Astaghfirullahal’adzim. Ngagetin aja sih, Ran. Udah
gitu, sakit nih.” ujarku sambil memasang muka sedih sekaligus kesal pada
pemilik suara nyaring tadi.
“Hehehe. Maaf, Kak. Habis kakak tadi dipanggil sekali gak
nyahut, dua kali pun sama. Makanya ketiga kali aku sekalian pakai gerakan.”
jawab Rani membela diri. Aku kok kurang yakin ya dengan ucapannya, masa iya aku
dua kali dipanggil diam saja? Padahal tempat duduk kita dekat sekali,
sebelah-sebelahan.
“Masa, sih? Ah, kamu pasti manggilnya dalam hati.” Aku
ikut membela diri karena masih tidak percaya seseorang seperti aku bisa
melamun. Ekspresi wajah Rani berubah menjadi datar karena kesal dengan
tuduhanku.
“Ya kali, Kak, manggil orang dalam hati.”
“Loh, ada tau, Ran, dalam lirik lagu galau kan suka
begitu.” ujarku diakhiri dengan cekikikan.
“Ciee, Kakak lagi galau, ya? Kenapa sih, Kak? Mikirin doi
yang gak nembak-nembak? Atau doi yang entah dimana?” Gantian Rani yang
cekikikan sekarang, bahkan gadis yang periang itu sekarang tertawa cukup keras
sehingga barisan giginya yang rapi terlihat dengan jelas. Tanpa menunggu
tanggapanku, Rani lanjut berkata sambil melirik ke arah jam dinding kantor,
“Kak, ayo pulang! Udah jam lewat 5 menit tuh.”
Aku pun melihat jam di layar ponsel, Rani benar, ini
sudah waktunya kami sebagai front office
boleh pulang tanpa takut akan diperkarakan. Aku memasukkan handphone berikut beberapa perintilan lain yang ada di meja ke
dalam sebuah ransel mungil. Tak lupa aku mengambil kunci motor, benda penting
yang sering aku lupakan keberadaannya.
“Kak. Kayaknya chargerku
ketinggalan, aku balik ke dalam bentar, ya.” ujar Rani yang semenjak memasuki
parkiran tadi memang sibuk memeriksa tasnya, mengecek sekali lagi apakah ada
barang yang ketinggalan. Belum aku jawab, gadis itu sudah berbalik dan berjalan
cepat, mungkin dia tidak enak, sudah menumpang masih memintaku untuk menunggu.
Aku memang hampir setiap hari memberi tumpangan kepada Rani sampai sebuah
persimpangan yang memisahkan rumahku dan rumahnya. Dari persimpangan tersebut,
Rani naik angkot atau memesan ojek online, tergantung mood-nya, ke arah kiri. Sedangkan rumahku ke arah sebaliknya.
Aku
lanjut berjalan ke arah sepeda motorku diparkir. Dari jauh ku lihat seseorang
juga sedang berdiri di sebelah sepeda motornya yang berada tepat di depan
punyaku. Aku langsung tahu bahwa sepeda motor milikku menghalangi jalan keluar
sepeda motor kepunyaannya. Aku mempercepat langkah, lebih tepatnya berlari
kecil ke arahnya. Dengan sigap aku memundurkan motorku yang memang tidak ada
penghalang di belakangnya layaknya seorang juru parkir. Laki-laki itu tersenyum
sambil mengangguk yang menurutku adalah tanda terima kasihnya kepadaku. Aku
juga membalas dengan sebuah anggukkan dan senyuman yang mugkin tidak terlihat
olehnya karena tertutup oleh masker yang sudah ke kenakan semenjak keluar dari kantor.
Setelah
laki-laki itu melajukan kendaraannya menjauh dariku, aku baru sadar bahwa aku
belum pernah melihat dia sebelumnya di lingkungan kantor. Memang selalu ada
wajah asing yang keluar masuk tempat bimbel kami tapi rata-rata semua adalah
murid bimbel. Sedangkan wajah laki-laki itu menurutku terlalu tua untuk
dianggap sebagai seorang murid bimbel. Setahu dia juga bukan salah satu mentor
di sini.
“Yuk,
Kak! Udah, nih.” ajak Rani yang tiba-tiba sudah duduk di jok belakang sepeda
motor. Lagi-lagi aku dibuat kaget oleh Rani, padahal sepertinya dia tidak
berteriak seperti di kantor tadi. Mungkin karena barusan pikiranku dipenuhi
oleh pertanyaan tentang siapa laki-laki tinggi semampai tadi?
“Ran,
memang ada mentor baru ya di Cahaya Ilmu?” Rasa penasaranku berlanjut. Sambil
mengendarai motor dengan cukup santai, aku berusaha mencari informasi dari
Rani.
“Setahuku
enggak ada, Kak. Emang kenapa?”
“Tadi di
parkiran, aku lihat orang asing gitu. Bukan peserta bimbel, karena dari
wajahnya kisaran umur 25 ke atas deh kayaknya.”
“Cewek
atau cowok, Kak?”
“Cowok.”
“Cakep
gak, Kak?” tanya Rani yang selalu antusias jika sudah membicarakan lawan jenis.
Gadis yang usianya tiga tahun lebih muda dariku ini terang-terangan mengaku
sudah sangat ingin menikah.
“Cakep
gak yaaa?” ujarku sengaja menggantungkan kalimat di akhir.
“Hmm.
Kalau jawabannya kayak gitu, pasti cakep. Semoga besok dia nongol lagi di
kantor, biar aku bisa ikutan kenalan.”
“Eh, kok
kamu ambil kesimpulan sendiri? Lagian cakep atau enggak itu kan relatif. Bisa
aja menurutku cakep, tapi menurut kamu enggak.”
“Habisnya
kakak jawabnya begitu. Kalau gak cakep, pasti kakak bakalan jawab, ‘Biasa aja,
Ran,’gitu, Kak.”
“Ooo
begitu, ya? Teori dari mana tuh?”
“Teori
aku sendiri dong.” jawab Rani. Kami berdua pun tertawa.
Rani benar juga sih, kalau gak cakep ya harusnya aku
tinggal jawab seperti yang dia katakan. Tapi aku justru memberikan jawaban yang
penuh tidak ketidakpastian. Artinya jawabanku 50:50 dong, ya. Aku menganalisa
sendiri dalam pikiran tentang apa yang disampaikan Rani barusan.
Meski dia lebih muda dariku, tetapi Rani punya pengalaman
lebih banyak soal lawan jenis. Dia sudah mengenal berbagai macam karakter
laki-laki. Gadis yang menurutku cantik ini sudah memantapkan hati untuk menikah
semenjak usianya 23 tahun. Aku di usia itu masih sibuk nonton drama Korea deh
kayaknya.
Sayangnya, sampai sekarang belum ada yang berjodoh
dengannya. Rani terus menebar pesona dimana-mana. Ia bahkan tidak pernah malu-malu
untuk memulai PDKT dengan seorang laki-laki yang ia anggap memenuhi
kriterianya. Oh, iya, Rani tidak memasang target terlalu tinggi untuk kriteria
calon suami. Dia pernah bilang kalau dia hanya butuh yang setia, seiman, punya
penghasilan dan bisa nyetir mobil. Iya, bagi Rani itu syarat yang tidak terlalu
tinggi. Gak paham juga kenapa dia selalu ingin disetirin sama suaminya kelak
sekalipun mereka belum punya mobil pribadi. Setidaknya sesekali bisa sewa mobil
hanya untuk melancong berdua suami dan disetirin. Keinginan yang menurutku
simpel tapi semoga itu bukan satu-satunya tujuan Rani ingin menikah secepatnya.
Namun, setidaknya Rani sudah ada tujuan apa yang ingin ia
capai setelah menikah. Beda sekali denganku yang sama sekali belum memikirkan
tentang sebuah pernikahan. Aku hanya tahu bahwa menikah itu adalah sunah rasul
dan tujuannya untuk menyempurnakan agama. Lalu setelah itu apa? Tinggal berdua
sambil melanjutkan kehidupan masing-masing? Jika sedang akur dan tidak ada
masalah, rumah tangga akan berjalan terus. Tetapi jika ada masalah akan
menimbulkan pertengkaran dan saling membentak satu sama lain?
Bukan, sudah pasti bukan itu yang islam janjikan dalam Al
Quran. Kalau tidak salah, aku pernah membaca tafsir salah satu ayat dalam Al
Quran yang aku baca di instagram bahwa menikah itu untuk mendapatkan ketenangan
yang tidak akan didapatkan bila seseorang masih single. Lalu, bagaimana caranya kita tahu bahwa seseorang yang akan
kita jadikan pasangan hidup tersebut akan memberikan ketenangan pada kita? Atau
sebaliknya bagaimana kita bisa tahu bahwa kehadiran kita dalam hidup seseorang
mampu memberikan ketenangan baginya?
Jadi, menurutku menikah itu bukan sekedar tentang tujuan melainkan tanggungjawab untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai dalam berumah tangga. Bukan tujuanku atau tujuannya melainkan tujuan sepasang manusia yang memutuskan menikah tersebut. Jika salah satu masih punya sifat egois, mana bisa?
0 Comments