ayadeflorian
  • Home
  • Tentang Saya
  • Literasi
    • Writing
    • Knowledge
  • Sharing
    • class='sub menu'>
    • Islam
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • SAFANA

SHARING

LITERASI

Contact

 


Salah satu drama korea (drakor) yang hipe banget akhir-akhir ini. Mereka yang tadinya ogah nonton drakor pun ikut penasaran dan malah ngikutin juga. Ciee, katanya drakor itu gitu-gitu aja ceritanya, penuh kisah romantis yang terlalu mengada-ada tapi kenapa sekarang malah pada nonton? Hmm. Pasti ada apa-apanya nih. Mari kita bahas dan selesaikan di sini baik-baik, ya. Yuk, dibaca sampai akhir!

Apa kabar nih tim Ji Pyeong? Sudah mulai melambaikan tangan pada kamera? *ngomong ke diri sendiri. Ya, saya tim Ji Pyeong, meski dari awal sudah tahu akan karam. Jadi second lead atau enggak, saya akan tetap jadi tim Ji Pyeong karena karakternya mirip dengan Jung Pal (bagi yang nonton Reply 1988 pasti ngerti).

Selain jadi tim Ji Pyeong, saya pernah jadi tim Jung Pal (Ryu Joon Yeol) di Reply 1988, tim Seo Jeong Woo (Lee Jun Ki) di My Girl, tim Yoon Ji Hoo (Kim Hyun Joong) di Boys Before Flowers, tim Choi Young Do (Kim Woo Bin) di The Heirs. Sampai sini ngerti kan?

But, di sini saya tidak akan membahas sisi romance dari drama korea yang ratingnya terus naik pada setiap episodenya ini. Kalau bahas sisi romantis, hampir semua drama korea pasti terselip kisah-kisah merah jambu tersebut. Bosan.

Di luar kisah romantis para pemerannya, Start Up memiliki cerita tentang impian sekelompok anak muda yang ingin menggapai impiannya. That’s the point. Dan ini mengingatkan saya pada serial drama korea yang udah lama banget yaitu Dream High yang juga diperankan oleh Suzy. Belakangan saya juga baru tahu kalau writer-nim drakor ini juga adalah writer-nim Dream High. Oh, gak heran ya punya nuansa yang sama.

Seperti yang kita tahu, millenials sekarang lebih tertarik membangun bisnis sendiri dan jadi seleb-media sosial ketimbang melamar pekerjaan atau begini istilahnya, mendingan jadi bos usaha kecil dari pada jadi karyawan di perusahaan besar. Memang dasar gak mau diatur aje yeee *canda

So, gak heran sih Start Up ini mendapat sambutan yang sangat baik dari awal penayangan bahkan sebelum tayang juga sudah ditunggu-tunggu. Mereka yang biasanya gak suka dan anti banget nonton drakor pun jadi penasaran dibuatnya dan akhirnya ikutan nonton. Baek-baek ketagihan yeee.

Menurut saya yang sudah menonton banyak drama korea, Start Up memang keren sih. Meski pun banyak juga drakor lain yang memiliki jalan cerita dan pesan moral yang bagus. Gak melulu soal cinta-cintaan ya. Suka kesel juga sih kadang sama yang under-estimated sama drakor karena di mata mereka drakor itu hanya kisah cinta-cintaan receh dipadukan dengan aktor-aktor yang bening yang membuat orang jadi betah nonton. HEY! Gak gitu ya konsepnya.

Kalau saya sih lebih mengapresiasi keseriusan pembuat drakor alias produser, sutradara dan para kru yang begitu serius dan niat dalam membuat sebuah tontonan yang menarik. Apalagi drakor bertema kedokteran, beuuh hanya di drakor saya bisa menyaksikan secara langsung apa yang terjadi di ruang operasi, gimana dokter bedah membelah perut pasien. Ini kenapa jadi seperti kampanye drakor, ya?

Oke, kita lanjut bahas Start Up. Kenapa sih Start Up bisa ditonton banyak orang, sekelas Maudy Ayunda sekaligus? Berikut alasannya dari sudut pandang saya, ya.

Pertama, jelas karena aktor yang keren. Siapa yang gak kenal Suzy? Drakor sebelumnya yang berjudul Vagabon juga sukses besar. Kamu boleh nonton itu juga ya, biar makin yakin kalau drakor gak melulu tentang cinta-cintaan. Vagabon itu bahas tentang penyelidikan kecelakaan pesawat terbang komersil loh. Keren gak tuh. Dan ada syuting di luar negerinya juga.

Aktor keren lainnya adalah Nam Joo Hyuk? Kayaknya bagi yang bukan penikmat drakor gak kenal sih sama doi, hehehe. Jadi, gak usahlah dibahas. Cuma pengen ngasih info saja drakor apa saja yang sudah perankan oleh si pemeran Nam Dosan ini. Barangkali banyak yang kepincut terus pengen lihat drakor doi yang lain.

Drakor doi yang saya tonton adalah School 2015, Weightlifting Fairy Kim Bok Joo, Cheese In The Trap, Moon Lovers dan lain-lain yang saya gak nonton.

Kedua, kekinian. Yap, ceritanya sangat kekinian dan relate banget sama anak jaman now yah apalagi yang sedang mengalami quarter-life crisis. Nonton ini bisa menimbulkan semangat tersendiri pastinya atau moodbooster begitu. Terus jadi berandai-andai di Indonesia ada Sand Box wkwkwk. Jangan yah. Meski gak ada sand box masih ada sand-wich dan sand-al jepit. Halah.

Buat yang belum nonton, Sand Box yang dimaksud dalam drakor ini adalah sebuah tempat yang mewadahi anak muda yang ingin membuat perusahaan rintisan berbasis teknologi. Untuk dapat bergabung, para pelamar harus mengikuti seleksi yang ketat dan saat terpilih maka peserta dapat menggunakan semua fasilitas yang ada di sand box untuk menunjang bisnis yang akan dirintis bersama tim yang sudah dibentuk sebelumnya plus dapat mentor juga. Keren yah, mentornya *ups

via Start Up on instagram

Ketiga, informatif. Kenapa informatif? Jujur menurut saya semua drakor itu informatif. Ada yang nambah ilmu penonton tentang kedokteran, ada tentang hukum, ada tentang gimana cara balikan sama mantan #eh gak termasuku ya. Ya begitulah kira-kira.

Start Up menyelipkan informasi mengenai bisnis di setiap scene, adegan dan dialognya. Contoh kecilnya adalah saya baru tahu bahwa perusahaan rintisan itu pembagian saham awalnya tidak boleh dibagi rata meski kenyataannya begitu karena dikhawatirkan tidak ada investor yang akan mempercayai perusahaan tersebut sebagai mitranya.

Keempat, menularkan semangat juang dari anak muda. Pada lihat kan ya perjuangan Ji Pyeong dari gak punya apa-apa hingga akhirnya jadi investor terkenal? Itu semua tidak lepas dari semangat berjuangnya untuk sukses dan ingin membalas kebaikan neneknya Seo Dal Mi.


via tvN drama on instagram

via tvN drama on instagram

Perhatikan juga semangat Seo Dal Mi, Nam Do San dan Won In Jae. Seo Dal Mi tidak tertarik jadi karyawan kontrak lagi karena atasannya yang gak jelas itu hingga ia memilih untuk mengikuti ujian masuk Sand Box. Gak sia-sia karena ia berhasil jadi CEO di timnya. Nam Do San and the genk yang punya otak encer sebagai programmer tapi gak ngerti bisnis sama sekali dan tetap semangat untuk bisa bergabung di Sand Box. Won In Jae meninggalkan jabatan dan kekayaan yang ia dapat secara instan dari ayah tirinya dan membuktikan kepada Seo Dal Mi bahwa ia juga bisa mendapatkan hal sudah ia tinggalkan tersebut dengan kemampuannya sendiri.

Kelima, realistis. Ingat, dari awal sudah dikatakan bahwa ini tidak membahas bagian romancenya ya. Realistis di sini adalah menyangkut perjuangan tadi. Tidak seperti drakor kebanyakan yang biasanya terlalu sulit untuk kita bayangkan ada di kehidupan nyata tapi ini enggak. Sand Box bisa saja sih ada di kehidupan nyata meski tidak di Indonesia.

Realistis dalam berbisnis seperti tergambar dari karakter Han Ji Pyeong. Meskipun ia memiliki kepentingan pribadi dengan Nam Do San tapi itu tidak membuatnya ingin berinvestasi begitu saja pada Sam Sam Tech sebagai syarat yang diajukan oleh Do San. Karena ia tidak ingin berbisnis dengan orang yang sama sekali gak ngerti soal bisnis. Sebuah ke-rasional-an yang nyata dari seorang lelaki.

Jadi, intinya nonton Start Up bisa banget menyuntikkan semangat membara pada diri kawula muda sekalian. Barangkali ada yang masih bingung dalam menentukan masa depan, mungkin kalian bisa tonton drakor ini agar supaya tidak melulu rebahan di kamar, depan laptop sambil kirim-kirim cv kerjaan by email. Sudah saatnya anak muda menggali potensi diri dan mengembangkannya menjadi sesuatu yang menghasilkan dan bermanfaat untuk masa depan.

Tentang pro kontra menonton drakor, hmm menurut saya pribadi ambil yang bagusnya, buang yang jeleknya. Gitu aja sih. Menurut kalian gimana?

Produktif Menanti Garis Biru by Ayadeflorian

Masa-masa penantian memang merupakan masa dimana seseorang rentan galau. Terlebih jika penantian itu diwarnai dengan ribuan pertanyaan 'Kapan ...?' dari orang-orang yang berada di sekitar kita. Kita yang tadinya sudah berusaha untuk bersabar dan ikhlas dalam penantian biasanya akan langsung dibuat jatuh dan baper bila ditanya 'kapan?'

Pertanyaan seperti itu menurut saya kurang etis untuk ditanyakan kepada seseorang. Mungkin ada baiknya kebiasaan bertanya: Kapan wisuda? Kapan nikah? Kapan punya momongan? dan seterusnya tersebut diganti dengan berupa doa: "Semoga kamu segera menyusul, ya." Pastinya itu akan lebih menguatkan pihak sebelah bukan?

Salah satu penantian yang cukup rentan membuat seseorang galau adalah penantian menunggu datangnya buah hati dalam sebuah pernikahan. Meski jarang ditanya kapan punya momongan, seorang perempuan yang sudah berstatus menikah bisa mendadak galau bahkan hanya karena melihat postingan seorang teman yang baru saja melahirkan anak pertama, anak kedua dan seterusnya. Apalagi, jika kita tahu bahwa kita lebih dahulu menikah dibandingkan teman tersebut. Masyaallah itu galaunya bisa sampai nangis dalam hati saking patah hatinya :')

Bila sudah demikian segera lakukan hal-hal di bawah ini:

1. Tutup sosial media untuk sementara

Ya, menurut saya ini adalah langkah awal yang harus diambil jika rasa galau tersebut dipicu oleh sebuah postingan. Karena jika kamu terus-terusan melihat banyak postingan teman tentang kehamilan dan anak maka hal ini hanya akan menimbulkan kesedihan dan ujung-ujungnya jadi membandingkan diri kita dengan orang lain. 'Kenapa ya, dia cepat banget hamilnya? Baru sebulan nikah juga.' 

2. Segera beristighfar

Kenapa istighfar? Karena setelah membandingkan diri kita dengan orang lain, maka biasanya akan timbul rasa curiga dan pikiran negatif kepada Sang Pencipta. Misalnya: "Ya Allah, kenapa aku belum dikasih? Padahal ketaatanku kepadamu jauh melebihi dia, ini gak adil ya Allah."  Astaghfirullahal'adzim jangan sampai punya pikiran seperti itu ya. Semua udah di atur kok sama Allah, bila tidak sekarang, insyaAllah nanti akan ada waktunya.

3. Ikhas dalam kesabaran

Kesabaran membutuhkan sebuah keikhlasan. Sabar tanpa ikhlas itu sama saja bohong. Bila kita sudah ikhlas akan segala ketetapan dari-Nya, insyaAllah kesabaran akan mengiringi keikhlasan tersebut. Sabar itu sulit karena hadiahnya surga, kalau gampang mah hadiahnya piring cantik, hehe.

Allah selalu bersama orang-orang yang sabar. Maka dari itu, kamu hanya harus bersabar setelah melakukan ikhtiar dan doa dilakukan. Serahkan hasilnya pada Allah SWT. Hal ini dengan sendirinya akan memunculkan pikiran positif dalam diri. 

4. Berbicara dengan pasangan

Saat galau menanti momongan, jangan pernah pendam sendiri ya. Ceritakan dengan pasangan tentang apa yang kamu rasakan. Masalah akan terasa lebih ringan jika dihadapi berdua. Bicara dengan pasangan biasanya memberikan kekuatan tersendiri bagi masing-masing orang. Bagi saya sendiri, saat ada masalah atau keresahan dan langsung menceritakannya dengan pasangan memberikan kelegaan tersendiri dan mengembalikan mood yang tadinya buruk jadi lebih baik. 

Selain itu, bicara atau diskusi dengan pasangan juga akan memperkuat rasa kasih sayang satu sama lain, insyaAllah. Setelah itu dengan sendirinya kita akan bersyukur karena memiliki seorang pasangan yang bisa jadi tempat untuk berkeluh kesah, bersyukur bahwa kamu tidak sendiri dalam menghadapi kejamnya pertanyaan dan postingan netizen #eh

5. Mencari kesibukan

Pada poin kelima ini, saya akan mengutip "Sharing Session TJI: Produktif Menanti Dua Garis Biru oleh Kak Miyosi Ariefiansyah".

Dalam sharing session yang diadakan oleh The Jannah Institute pada hari Jumat (20/11/20) lalu, Kak Miyosi berbagi pengalamannya dalam menanti buah hati selama kurang lebih 10 tahun. Bayangkan, 10 tahun? Dan kamu menanti 1 atau 2 tahun saja galaunya minta ampun. Hmmmm..

Kak Miyosi menikah di tahun 2008 pada usia 21 tahun dan baru dikarunia momongan pada usia 30 tahun di tahun 2017. Alih-alih galau memikirkan pertanyaan orang-orang tentang 'Kapan hamil?, Kak Miyosi justru mengalihkan itu semua dengan melakukan berbagai kegiatan positif. Membuat diri menjadi lebih sibuk bagi beliau sangat ampuh dalam mengusir kegalauan.

Mungkin ada juga yang berpendapat, kalau mau hamil ya jangan capek-capek, harus banyak istirahat. Iya, itu juga ada benarnya. Akan tetapi kita tentu lebih tahu batas maksimal dari diri kita, kita juga pasti lebih tahu kapan harus berhenti beraktivitas. Makanya pikiran sepertinya jangan sampai disalah artikan bahwa kita membuat diri ini menjadi capek hingga kelelahan dan mempengaruhi kesuburan. Pastinya bukan begitu kesibukan yang dimaksud Kak Miyosi. 

Hamil adalah sesuatu yang tidak bisa kita pastikan kapan datangnya, sehingga bagi Kak Miyosi ia justru akan lebih stress dan terkompori jika tidak melakukan aktivitas apa-apa dalam penantian tersebut.

Ada pun hal-hal positif yang dilakukan oleh Kak Miyosi dalam penantian buah hati agar tidak baper dan nangis mendengar sesuatu yang berhubungan dengan anak adalah:

1. Bekerja to the max, beliau pernah kerja lepas di 5 tempat sekaligus

Otomatis akan menimbulkan kesibukan hingga tidak ada waktu lagi untuk galau. Pikiran juga dipenuhi oleh pekerjaan. Waktu itu Kak Miyosi bekerja di bidang literasi dan sempat Long Distance juga dengan suaminya yang sibuk bekerja sebagai akuntan di Perusahaan Jepang. 

Bukannya tidak pernah baper saat mendengar teman yang melahirkan bertubi-tubi, kalau sudah begitu kadang kita juga butuh nangis biar lebih lega. 

2. Mbolang (jalan-jalan)

Jalan-jalan juga dibutuhkan untuk mengusir kegalauan. Jalan-jalan membuat kita menemukan banyak hal baru dan juga teman baru pastinya. Ini juga praktis dapat mengusir kegalauan, apapun masalahnya.

3. Berkomunitas

Hampir sama dengan jalan-jalan, berkomunitas juga membuat kita bisa menemukan hal dan teman-teman baru. Apalagi komunitasnya adalah komunitas sesama pejuang dua garis biru. Dalam komunitas tersebut kita bisa saling menguatkan dan sharing tentang keresahan yang dirasakan. 

Di luar hal-hal yang sibuk dan positif yang kita lakukan untuk mengusir kegalauan, kita pastinya juga membutuhkan yang namanya support system agar kesibukan tadi tidak menjadi sia-sia.

Mereka adalah:

1. Pasangan yang santai: Dikasih anak ya alhamdulillah, berdua aja juga gak masalah. Persis seperti di film yang diangkat dari novel best seller berjudul Testpack.

2. Orangtua dan mertua yang selalu mendoakan

3. Saudara-saudara yang 'cuek' tapi diam-diam memberi alamat beberapa dokter kandungan spesialis masalah fertilitas

4. Sahabat dari berbagai arah yang benar-benar mendukung walau hanya sekadar dengan kata-kata atau kalimat nyeleneh:

"Santai aja kali, lo kalau udah jadi emak gak bakalan bisa kumpul-kumpul kayak gini." 

Poinnya adalah di membesarkan hati. Karena saat udah jadi emak pun yang dulunya komen kayak begitu berubah jadi, "Nikmati masa-masa lo jadi emak sebelum anak lo punya kehidupan sendiri dan lo nangis-nangis."


Tanpa support dari orang-orang di sekitar, sungguh kita gak bakal bisa sekuat sekarang karena biar bagaimana pun kita makhluk sosial. Begitu kata Kak Miyosi mengakhiri sharing session malam itu. 

Jadi intinya selain sabar dan sibuk ternyata ada support system juga yang punya peranan besar dalam mengusir rasa galau dalam menanti datangnya buah hati. Jangan lupa untuk terus keep positive thinking terlebih sama Allah SWT. Dia yang mengatur segalanya, Dia yang punya hak atas jawaban dari kapan  tersebut. Mungkin masih ada 'PR' yang harus kita selesaikan terlebih dahulu hingga nanti Allah akan kasih saat kita memang dianggap sudah siap. Aamiin Allahumma Aamiin.







Tentang Tanggung Jawab




            Bekerja sebagai seorang front office di sebuah Bimbingan Belajar (bimblel) membuatku jadi sering tanpa sadar menatap ke arah jalan raya saat sedang tidak ada kerjaan. Seperti sore ini selepas salat ashar, sambil menunggu jam pulang kerja, aku duduk di kursi dan memperhatikan kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Melihat orang-orang dan kendaraan yang keluar masuk gerbang. Beberapa karyawan sudah banyak yang terlihat meninggalkan kantor tapi aku memilih menunggu hingga jam yang disepakati datang.

            Menurut peraturan kantor, jam pulang normal itu adalah pukul 5 sore. Akan tetapi banyak karyawan yang terbiasa pulang setelah menunaikan salat ashar. Aku pun pernah melakukannya, namun berujung teguran dari atasanku. Bahkan aku masih mengingat bagaimana ekspresi beliau saat aku memasuki ruangannya kala dipanggil saat itu. Pria paruh baya tersebut menurunkan sedikit kacamatanya untuk melihatku lalu memastikan namaku. Jujur, selama aku bekerja, baru sekali itu aku dipanggil ke ruangan atasan dan itu adalah pertemuan keduaku dengan beliau. Yang pertama kali adalah saat aku di interview.

            Setelah mempersilahkanku untuk duduk, beliau menghentikan sejenak kesibukannya dan mengaitkan kedua tangan lalu menaruhnya di bawah dagu. Beliau menatapku sambil menggelengkan kepala dan hal itu memaksaku untuk menunduk. Aku pikir detik itu juga aku akan kehilangan mata pencarian. Intonasi suaranya sangat kontras dengan apa yang ia ucapkan. Beliau tidak membentak, justru setiap kata demi kata yang keluar dari mulutnya terdengar sangat lembut. Namun, setiap kata demi kata itu juga penuh dengan sindiran yang membuat siapapun yang mendengarkan juga tahu bahwa beliau sedang marah.

            Pada waktu itu beliau benar-benar berbeda dari sosok yang aku temui saat interview. Seperti memiliki dua kepribadian yang berbeda. Setiap kata yang keluar dari mulut seorang Lintang Harahap pada saat itu benar-benar berhasil membuatku malu. Mungkin hal ini yang membuatnya bisa menjadi seorang pemimpin. Aku malu akan kesalahanku dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulanginya. Aku sama sekali tidak ingin berada dalam situasi seperti itu lagi untuk kedua kalinya.   

Aku ditegur karena tidak peka dengan posisiku sebagai seorang front office. Waktu itu aku baru 3 bulan bekerja dan belum punya partner yang duduk di sebelahku seperti sekarang. Aku lupa atau bahkan mungkin abai bahwa posisiku itu adalah garda terdepan sebuah kantor yang bergerak di bidang jasa dan pelayanan. Cahaya Ilmu adalah sebuah Perusahaan Swasta yang memberikan jasa berupa bimbingan belajar bagi para siswa dan siswi yang akan melanjutkan sekolah ke jenjang Universitas.

Sebagai karyawan yang ditempatkan pada garda terdepan, setiap orang yang melangkahkan kakinya masuk ke dalam bangunan tiga lantai ini sudah pasti akan diarahkan kepadaku oleh petugas satpam. Akulah yang mereka harapkan dapat memberikan informasi yang mereka cari. Dari informasi dasar seperti syarat dan biaya pendaftaran sampai pada infomasi  yang dibutuhkan murid bimbel kami seperti jadwal belajar, mentor yang akan memberikan materi hari itu dan informasi penting lainnya. Bayangkan jika kursi yang aku duduki dengan segala macam tanggungjawab yang ada di dalamnya itu kosong?

Calon pendaftar akan langsung balik kanan dan kalau memang sudah bulat tekadnya untuk mendaftar di bimbel kami, mungkin akan datang kembali besok. Murid bimbel akan kesal dan bercerita kepada temannya bahwa bimbel kami tidak profesional dan tidak masuk rekomendasi. Berapa kerugian yang akan ditanggung oleh Cahaya Ilmu hanya karena aku secara egois memilih untuk pulang satu jam sebelum jam kerja berakhir? Tidak heran, Lintang Harahap memanggil dan memberiku surat teguran pertama. Ini bukan hanya soal bisnis tetapi juga responsibilitas.

Semenjak saat itu aku selalu pulang jika jarum jam sudah menunjukkan angka 5 lebih 5 menit. Alhasil, bila sehabis asar kerjaan sudah selesai dan tidak ada tamu lagi, aku biasanya menghabiskan waktu untuk melihat-lihat instagram atau seperti yang aku lakukan sekarang ini, melamun. Sebenarnya aku tidak melamun, hanya memperhatikan apa yang ada di depan sana karena menurutku hal itu tidak selalu membosankan. Terkadang ada beberapa peristiwa menarik yang terjadi selagi aku menatap ke arah gerbang dan jalan raya.

 “Kak!” Sebuah suara yang sangat nyaring yang sudah tidak asing bagiku disertai tepukan yang cukup keras di pundak kiri membuatku cukup terhenyak dibuatnya. Apa artinya barusan aku sedang melamun, ya? Atau memang karena rekanku yang satu ini memang terlalu berlebihan untuk sekedar memanggil.

“Astaghfirullahal’adzim. Ngagetin aja sih, Ran. Udah gitu, sakit nih.” ujarku sambil memasang muka sedih sekaligus kesal pada pemilik suara nyaring tadi.

“Hehehe. Maaf, Kak. Habis kakak tadi dipanggil sekali gak nyahut, dua kali pun sama. Makanya ketiga kali aku sekalian pakai gerakan.” jawab Rani membela diri. Aku kok kurang yakin ya dengan ucapannya, masa iya aku dua kali dipanggil diam saja? Padahal tempat duduk kita dekat sekali, sebelah-sebelahan.

“Masa, sih? Ah, kamu pasti manggilnya dalam hati.” Aku ikut membela diri karena masih tidak percaya seseorang seperti aku bisa melamun. Ekspresi wajah Rani berubah menjadi datar karena kesal dengan tuduhanku.

“Ya kali, Kak, manggil orang dalam hati.”

“Loh, ada tau, Ran, dalam lirik lagu galau kan suka begitu.” ujarku diakhiri dengan cekikikan.

“Ciee, Kakak lagi galau, ya? Kenapa sih, Kak? Mikirin doi yang gak nembak-nembak? Atau doi yang entah dimana?” Gantian Rani yang cekikikan sekarang, bahkan gadis yang periang itu sekarang tertawa cukup keras sehingga barisan giginya yang rapi terlihat dengan jelas. Tanpa menunggu tanggapanku, Rani lanjut berkata sambil melirik ke arah jam dinding kantor, “Kak, ayo pulang! Udah jam lewat 5 menit tuh.”

Aku pun melihat jam di layar ponsel, Rani benar, ini sudah waktunya kami sebagai front office boleh pulang tanpa takut akan diperkarakan. Aku memasukkan handphone berikut beberapa perintilan lain yang ada di meja ke dalam sebuah ransel mungil. Tak lupa aku mengambil kunci motor, benda penting yang sering aku lupakan keberadaannya.

“Kak. Kayaknya chargerku ketinggalan, aku balik ke dalam bentar, ya.” ujar Rani yang semenjak memasuki parkiran tadi memang sibuk memeriksa tasnya, mengecek sekali lagi apakah ada barang yang ketinggalan. Belum aku jawab, gadis itu sudah berbalik dan berjalan cepat, mungkin dia tidak enak, sudah menumpang masih memintaku untuk menunggu. Aku memang hampir setiap hari memberi tumpangan kepada Rani sampai sebuah persimpangan yang memisahkan rumahku dan rumahnya. Dari persimpangan tersebut, Rani naik angkot atau memesan ojek online, tergantung mood-nya, ke arah kiri. Sedangkan rumahku ke arah sebaliknya.

            Aku lanjut berjalan ke arah sepeda motorku diparkir. Dari jauh ku lihat seseorang juga sedang berdiri di sebelah sepeda motornya yang berada tepat di depan punyaku. Aku langsung tahu bahwa sepeda motor milikku menghalangi jalan keluar sepeda motor kepunyaannya. Aku mempercepat langkah, lebih tepatnya berlari kecil ke arahnya. Dengan sigap aku memundurkan motorku yang memang tidak ada penghalang di belakangnya layaknya seorang juru parkir. Laki-laki itu tersenyum sambil mengangguk yang menurutku adalah tanda terima kasihnya kepadaku. Aku juga membalas dengan sebuah anggukkan dan senyuman yang mugkin tidak terlihat olehnya karena tertutup oleh masker yang sudah ke kenakan semenjak keluar dari kantor.

            Setelah laki-laki itu melajukan kendaraannya menjauh dariku, aku baru sadar bahwa aku belum pernah melihat dia sebelumnya di lingkungan kantor. Memang selalu ada wajah asing yang keluar masuk tempat bimbel kami tapi rata-rata semua adalah murid bimbel. Sedangkan wajah laki-laki itu menurutku terlalu tua untuk dianggap sebagai seorang murid bimbel. Setahu dia juga bukan salah satu mentor di sini.

            “Yuk, Kak! Udah, nih.” ajak Rani yang tiba-tiba sudah duduk di jok belakang sepeda motor. Lagi-lagi aku dibuat kaget oleh Rani, padahal sepertinya dia tidak berteriak seperti di kantor tadi. Mungkin karena barusan pikiranku dipenuhi oleh pertanyaan tentang siapa laki-laki tinggi semampai tadi?

            “Ran, memang ada mentor baru ya di Cahaya Ilmu?” Rasa penasaranku berlanjut. Sambil mengendarai motor dengan cukup santai, aku berusaha mencari informasi dari Rani.

            “Setahuku enggak ada, Kak. Emang kenapa?”

            “Tadi di parkiran, aku lihat orang asing gitu. Bukan peserta bimbel, karena dari wajahnya kisaran umur 25 ke atas deh kayaknya.”

            “Cewek atau cowok, Kak?”

            “Cowok.”

            “Cakep gak, Kak?” tanya Rani yang selalu antusias jika sudah membicarakan lawan jenis. Gadis yang usianya tiga tahun lebih muda dariku ini terang-terangan mengaku sudah sangat ingin menikah.

            “Cakep gak yaaa?” ujarku sengaja menggantungkan kalimat di akhir.

            “Hmm. Kalau jawabannya kayak gitu, pasti cakep. Semoga besok dia nongol lagi di kantor, biar aku bisa ikutan kenalan.”

            “Eh, kok kamu ambil kesimpulan sendiri? Lagian cakep atau enggak itu kan relatif. Bisa aja menurutku cakep, tapi menurut kamu enggak.”

            “Habisnya kakak jawabnya begitu. Kalau gak cakep, pasti kakak bakalan jawab, ‘Biasa aja, Ran,’gitu, Kak.”

            “Ooo begitu, ya? Teori dari mana tuh?”

            “Teori aku sendiri dong.” jawab Rani. Kami berdua pun tertawa.

Rani benar juga sih, kalau gak cakep ya harusnya aku tinggal jawab seperti yang dia katakan. Tapi aku justru memberikan jawaban yang penuh tidak ketidakpastian. Artinya jawabanku 50:50 dong, ya. Aku menganalisa sendiri dalam pikiran tentang apa yang disampaikan Rani barusan.

Meski dia lebih muda dariku, tetapi Rani punya pengalaman lebih banyak soal lawan jenis. Dia sudah mengenal berbagai macam karakter laki-laki. Gadis yang menurutku cantik ini sudah memantapkan hati untuk menikah semenjak usianya 23 tahun. Aku di usia itu masih sibuk nonton drama Korea deh kayaknya.

Sayangnya, sampai sekarang belum ada yang berjodoh dengannya. Rani terus menebar pesona dimana-mana. Ia bahkan tidak pernah malu-malu untuk memulai PDKT dengan seorang laki-laki yang ia anggap memenuhi kriterianya. Oh, iya, Rani tidak memasang target terlalu tinggi untuk kriteria calon suami. Dia pernah bilang kalau dia hanya butuh yang setia, seiman, punya penghasilan dan bisa nyetir mobil. Iya, bagi Rani itu syarat yang tidak terlalu tinggi. Gak paham juga kenapa dia selalu ingin disetirin sama suaminya kelak sekalipun mereka belum punya mobil pribadi. Setidaknya sesekali bisa sewa mobil hanya untuk melancong berdua suami dan disetirin. Keinginan yang menurutku simpel tapi semoga itu bukan satu-satunya tujuan Rani ingin menikah secepatnya.

Namun, setidaknya Rani sudah ada tujuan apa yang ingin ia capai setelah menikah. Beda sekali denganku yang sama sekali belum memikirkan tentang sebuah pernikahan. Aku hanya tahu bahwa menikah itu adalah sunah rasul dan tujuannya untuk menyempurnakan agama. Lalu setelah itu apa? Tinggal berdua sambil melanjutkan kehidupan masing-masing? Jika sedang akur dan tidak ada masalah, rumah tangga akan berjalan terus. Tetapi jika ada masalah akan menimbulkan pertengkaran dan saling membentak satu sama lain?

Bukan, sudah pasti bukan itu yang islam janjikan dalam Al Quran. Kalau tidak salah, aku pernah membaca tafsir salah satu ayat dalam Al Quran yang aku baca di instagram bahwa menikah itu untuk mendapatkan ketenangan yang tidak akan didapatkan bila seseorang masih single. Lalu, bagaimana caranya kita tahu bahwa seseorang yang akan kita jadikan pasangan hidup tersebut akan memberikan ketenangan pada kita? Atau sebaliknya bagaimana kita bisa tahu bahwa kehadiran kita dalam hidup seseorang mampu memberikan ketenangan baginya?

            Jadi, menurutku menikah itu bukan sekedar tentang tujuan melainkan tanggungjawab untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai dalam berumah tangga. Bukan tujuanku atau tujuannya melainkan tujuan sepasang manusia yang memutuskan menikah tersebut. Jika salah satu masih punya sifat egois, mana bisa? 




Sumpah Pemuda selalu mengingatkan saya akan sosok almarhum papa, karena kebetulan beliau lahir di tanggal 28 Oktober. Namun, kali ini tidak hanya sosok pahlawan dalam keluarga kami tersebut yang hadir diingatan saya pada saat peringatan Sumpah Pemuda, tetapi juga seorang bocah pemberani dari Tanah Rencong. 

Nama yang pasti sudah tidak asing lagi di telinga kawan-kawan sekalian, yaitu Rangga. 
Apa yang ada di pikiran kawan-kawan saat pertama kali membaca atau pun mendengar kisah Rangga dari media massa? 
Miris? 
Saya yakin sebagian besar akan mengucapkan kata tersebut. Saya pun demikian ketika pertama kali mendengar dan melihat berita tentang Rangga di televisi bersama suami. Kemudian spontan pertanyaan ini langsung keluar dari mulut saya kepada suami pada saat itu, "Syahid berarti ya, yang?" Lalu suami saya menjawab, "Insyaallah."

Ternyata hari-hari berikutnya jagat maya ikut ramai membicarakan kisah memilukan dari seorang bocah yang tinggal bersama ibunya di sebuah gubuk kecil di tengah perkebunan sawit tersebut. Ya, rumah yang ditempati oleh Rangga dan ibunya jauh dari pemukiman warga, kurang lazim rasanya ada rumah di tempat seperti itu menurut saya. Tetapi seperti itulah potret kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Ada yang memiliki rumah bak istana megah yang membutuhkan puluhan orang sebagai asisten rumah tangga guna membersihkan setiap sudut rumah dan ada juga yang harus berbagi satu ruangan kecil bersama seluruh anggota keluarga. Entah apa yang terjadi pada negara yang katanya sudah merdeka selama 75 tahun ini.
 

Profil Rangga Yang Patut Untuk Diteladani Oleh Pemuda 

Dari kisah memilukannya, kita ke profil Rangga yang cukup menarik perhatian saya ketika membaca artikel terkait kasusnya di berbagai media online. Ada kutipan wawancara dengan sang ayah yang tinggal di Medan karena sudah berpisah dengan sang ibu. Fadil, ayah dari bocah mujahid ini mengatakan bahwa Rangga adalah sosok anak yang pintar dan selalu mendapat rangking di kelasnya. Selain itu Rangga juga bisa membaca Al Quran. Masyaallah.. 
Makin pilu hati ini saat tahu bahwa negeri ini sudah kehilangan salah satu calon pemuda terbaiknya. Sangat disayangkan sekali bukan?

Namun, kita tidak boleh menyesali apa yang sudah berlalu karena sudah pasti semua itu terjadi atas kehendak Allah SWT. Yang seharusnya kita lakukan saat ini adalah mencari cara agar kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang. Tidak ada lagi nyawa yang harus dikorbankan. Besar harapan kita kepada pemerintah untuk memberikan hunian yang layak bagi seluruh masyarakat Indonesia. Tidak perlu ada lagi warga yang terpaksa membangun gubuk yang letaknya jauh dari pemukiman penduduk. Berikan hukuman yang setimpal dan memberi efek jera kepada pelaku.

Hal ini tentu juga tidak hanya menjadi tanggung jawab daripada pemerintah saja melainkan kita semua. Pentingnya bagi orangtua untuk menanamkan nilai-nilai moral dan norma agama semenjak dini kepada anak sehingga tidak tumbuh menjadi seorang kriminal seperti pelaku yang menghabiskan nyawa Rangga sekaligus memperkosa ibunya. 

Kisah dan karakter Rangga hendaknya dapat menjadi contoh bagi para pemuda, generasi penerus bangsa. Di usianya yang masih sangat muda, dengan gagah berani ia membela kehormatan ibunya hingga nyawa pun ia pertaruhkan.

Bagaimana dengan kita? Apa saja yang sudah kita lakukan selama ini untuk menjaga kehormatan orangtua, saudara atau pun bangsa?

Bagaimana dengan kita, yang masih sering merengek hanya untuk meminta dibelikan gadget baru oleh ayah atau ibu yang penghasilannya pas-pasan. Terkadang sebagai anak kita justru membuat malu orangtua karena terpaksa harus meminjam uang ke sana ke mari demi memenuhi keinginan anaknya?

Pemuda hari ini menurut saya sudah sangat pemberani, hanya terkadang keberanian tersebut tidak pada tempatnya bahkan kelewat batas. Gunakanlah keberanian yang kalian miliki untuk membela dan menjaga kehormatan keluarga dan tanah air.

Wahai Pemuda Indonesia, tegakkanlah kebenaran dengan keberanian yang kamu miliki. 
Jangan takut untuk membela sebuah kebenaran, kebenaran hakiki yang bersumber dari Al Quran. Rangga mungkin sangat merasakan ketakutan saat melihat sosok asing yang mengganggu tidur nyenyak ia dan ibunya tetapi ia lebih takut bila kehormatan perempuan yang sudah melahirkannya tersebut direnggut oleh orang lain.

Siapa yang membuat bocah 9 tahun itu menjadi pemberani seketika? Tentu saja hati nurani yang dititipkan oleh Allah swt kepada setiap hambaNya. Hati nurani yang terusik ketika melihat sesuatu yang bertolak belakang dari nilai-nilai moral dan agama.

Terima kasih Rangga, engkau sudah membangunkan kembali semangat berjuang membela kebenaran sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW. Namamu akan selalu dikenang oleh seluruh penghuni bumi dan langit.


Selamat Hari Sumpah Pemuda! 

Pekanbaru, 28 Oktober 2020











 

        Tanya Yang Hilang

        “Nikah? Baru umur 26 tahun udah mikirin nikah, kerja juga baru 2 tahun. Apa kamu gak mau lihat adik-adik kamu lulus sekolah dulu?” Aku masih merekam dengan detail kalimat tersebut dalam ingatan. Itu adalah tanggapan ibu ketika anak gadisnya yang dulu tomboi tiba-tiba membahas tentang nikah. Padahal saat itu aku juga belum ada keinginan untuk menikah sama sekali.


Pada waktu itu aku mengunjungi ibu di rumah besar, aku menggunakan kata besar bukan untuk mewakili ukuran rumahnya melainkan jumlah kepala yang ada di dalamnya. Aku mendapat amanat dari salah seorang sahabatku yang bernama Ulfa untuk menyampaikan sebuah kabar baik yaitu kabar pernikahannya. Ibu turut diundang di hari bahagia Ulfa tersebut karena Ulfa merasa sangat dekat dengan ibu. Seperti kedekatan aku dengan mamanya Ulfa.

Ulfa adalah orang pertama yang akan melepas masa lajangnya diantara aku dan para sahabat. Aku turut bahagia mendengar kabar tersebut mengingat perjuangan Ulfa dan calon suami yang awalnya mendapat pertentangan dari orang tua Ulfa. Ungkapan jodoh tidak akan kemana memang benar adanya. Betapa pun rintangan yang menghalanginya, dua insan yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk berjodoh akan tetap bersatu, entah di dunia atau pun di akhirat.

Namun, rasa bahagia mendengar salah satu sahabat akan menikah itu kalah dengan rasa terkejut bahwa ternyata aku sudah dewasa dan pantas untuk menikah. Rasanya baru kemarin aku, Ulfa, Amira dan Najla duduk di kelas, mendengarkan dosen menerangkan mata kuliah sambil saling melempar candaan. Baru kemarin rasanya kami berempat menghabiskan akhir pekan di rumah Najla dengan alibi mengerjakan tugas tapi ternyata malah berujung saling curhat atau nonton film.

Selain waktu yang terasa cepat berlalu, ada hal lainnya yang terlintas dalam pikiranku saat akan menemui ibu untuk memberikan undangan pernikahan Ulfa. Apa nanti aku akan ditanyai “kapan nikah?” juga oleh ibu? Apakah ibu seperti orang tua lainnya yang latah saat mendengar kabar teman anaknya akan menikah lalu mendadak ingin anaknya pun juga cepat-cepat bertemu dengan pangeran yang akan membawa putrinya ke pelaminan? Mendadak aku menyesal menerima permintaan tolong Ulfa untuk memberikan undangan kepada ibu, harusnya kan dia sendiri yang datang memberikan.

Sampai di rumah besar, seperti biasa ibu sedang duduk di belakang mesin jahitnya. Pintu rumah dibiarkan terbuka begitu saja. Di depan rumah tepatnya di teras yang tidak terlalu besar, ibu juga membuka warung kecil-kecilan yang menjual beberapa makanan ringan dan kebutuhan rumah tangga. Oleh karena itu pintu rumah selalu dibiarkan terbuka terlepas ada atau tidaknya ibu di belakang mesin jahitnya.

Rumah besar terletak di sebuah persimpangan jalan. Tepat di samping rumah besar ada pangkalan ojek yang ramai dengan tukang ojek yang mencari nafkah dengan menawarkan jasa antar penumpang menggunakan sepeda motor. Ibu mengenal hampir semua tukang ojek yang mangkal disana karena terkadang mereka juga duduk di depan warung ibu sambil memesan segelas kopi panas. Tak jarang mereka berkeluh kesah dengan ibu mengenai susahnya kehidupan di zaman sekarang ini, penumpang yang sudah mulai sepi karena semakin banyak yang menggunakan jasa ojek online.

Begitu masuk dan melihat ibu yang sedang duduk di belakang mesin jahitnya, asik menggoyangkan kaki, ada rasa kesal menyelimuti hati. Aku sudah berkali- kali mengatakan kepada ibu untuk berhenti menerima pelanggan tetapi sepertinya omonganku hanya dianggap angin lalu oleh beliau. Menjahit dan berdagang sudah menjadi sumber penghasilan ibu semenjak ditinggal ayah. Dengan dua pekerjaan itulah ibu mampu membuatku menjadi seorang sarjana. Beberapa tahun yang lalu mungkin tubuh ibu masih cukup kuat untuk duduk berjam-jam, menyelesaikan jahitan baju pelanggan. Tetapi sekarang kondisi ibu sudah jauh berbeda. Seiring bertambahnya usia, tubuh beliau tentu tidak sekuat dulu lagi, tulang-tulang sudah mulai rapuh, penglihatan juga makin berkurang.

Setiap dilarang untuk menjahit ibu selalu bilang, “Ibu bosan kalau cuma duduk nungguin warung, mending duduk di situ, dapat juga tambahan buat biaya kuliah Siska,” ujar ibu sambil menunjuk ke arah mesin jahitnya.

Setelah mengucapkan salam dan mencium tangan ibu, aku masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Pemandangan ibu yang sedang menjahit itu sebenarnya sangat membuat hati ini patah. Tetapi aku juga lelah mengatakannya berulang kali karena ujung-ujungnya ibu tetap tidak mau dilarang. Apalagi kalau ibu sudah mengucapkan kalimat pamungkasnya, detik itu juga langsung hilang semua omelan yang akan aku sampaikan kepada beliau.

“Ibu itu bahagianya ya waktu menjahit, kalau duduk diam gak ngapa-ngapain itu ibu suka mikir yang aneh-aneh, kadang jadi ingat almarhum ayah.” Itulah kalimat pamungkas ibu yang langsung membungkam mulut kami semua, anak-anaknya.

“Bu, ini ada undangan. Ulfa mau nikah insyaallah dua minggu lagi.” kataku sambil menyodorkan sebuah undangan pernikahan berwarna ungu bermotif bunga-bunga kepada ibu. Namun ibu tidak langsung mengambilnya karena tangannya masih tekun memegang kain yang terbentang di atas mesin jahit. Alhasil aku mundur kembali ke tempat duduk dan meletakkan undangan tersebut di atas meja yang ada di hadapanku.

Aku menunggu reaksi ibu dengan perasaan campur aduk. Aneh, ada rasa penasaran yang sangat besar menghampiriku. Aku bahkan sudah menyiapkan jawaban jika nanti ibu mempertanyakan kapan giliranku untuk menyusul Ulfa, melabuhkan hati pada lelaki pilihan.

 Ternyata reaksi ibu jauh dari dugaanku. Reaksi ibu tidak seheboh yang aku bayangkan. Jangankan bertanya kapan aku menyusul langkah yang diambil Ulfa, beliau bahkan sama sekali tidak menghentikan pekerjaannya. Aku lega sekaligus bertanya-tanya kenapa respon ibu secuek itu. Apa mungkin karena aku sudah sering menceritakan tentang kisah percintaan Ulfa pada beliau?

“Dua minggu lagi tanggal berapa, ya? Kayaknya ibu juga ada undangan lain deh hari itu.” Sambil tetap menjahit hanya itu kalimat yang keluar dari mulut ibu. Apa-apaan itu? Kenapa ibu tidak kaget mendengar teman sepermainan anaknya akan menikah? Kenapa malah cuma bahas tanggal yang sebenarnya bisa ibu lihat sendiri di undangan nanti? Justru aku sendiri yang dibuat kaget dengan respon ibu.

“Sampaikan selamat dari ibu buat Ulfa, ya. Jadi juga dia sama putra Pak Kiyai itu?” Ternyata ada pertanyaan tambahan tapi tetap saja ini bukan pertanyaan yang aku duga.

“Iya, jadi Bu,” jawabku yang masih tidak percaya reaksi ibu akan sesantai itu. Selanjutnya ibu hanya mengangguk-angguk sambil terus menjahit. Sementara aku masih menunggu kapan ibu akan bertanya, ‘Kamu gimana? Kapan mau kenalin calon ke ibu?’

Namun, pertanyaan itu tak kunjung keluar dari mulut ibu. Aneh, harusnya aku senang tidak mendapatkan pertanyaan menyebalkan itu dari ibu. Kenapa sekarang aku malah terkesan ingin sekali ditanyai ‘kapan nikah?’ oleh ibu? Akhirnya karena begitu penasaran, keluarlah kalimat yang aku pun tidak menduga bisa keluar dari mulutku.

“Gak nyangka ya, Bu, sahabatku udah mau nikah aja. Bentar lagi mungkin aku yang dilamar orang,” ujarku sambil tertawa kecil di ujung kalimat. Padahal aku tidak ada maksud apa-apa mengatakan itu. Kata-kata itu keluar begitu saja. Tetapi respon ibu justru heboh. Seheboh yang aku pikirkan saat ibu mendengar kabar pernikahan Ulfa.

“Nikah? Baru umur 26 tahun udah mikirin nikah, kerja juga baru 2 tahun. Apa kamu gak mau lihat adik-adik kamu lulus sekolah dulu?” Ibu mengucapkan kata-kata tersebut sambil melihat ke arahku dan menghentikan pekerjaannya. Beliau memandangku beberapa saat dari balik kacamatanya lalu kembali asik dengan mesin jahitnya tanpa menunggu jawaban dariku.

“Menikah itu kalau udah siap secara mental dan finansial. Kalau ibu lihat, Ulfa udah punya kedua bekal itu. Lah, kamu?” lanjut ibu kemudian. Aku masih memikirkan jawaban, ibu sudah melanjutkan kalimatnya lagi, “Meskipun yang punya kewajiban menafkahi itu suami tapi kita sebagai perempuan juga harus punya tabungan sendiri untuk bekal jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.”

Kemudian hening. Baik aku maupun ibu sama-sama terdiam. Aku masih berusaha mencerna maksud dari kalimat yang ibu ucapkan paling akhir. Apa maksudnya bekal jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan? Pikiranku langsung melayang jauh kepada saat ibu yang begitu cepat ditinggal ayah wafat sementara saat itu ibu benar-benar menggantungkan nafkah sepenuhnya dari ayah. Apa itu yang dimaksud ibu dengan sesuatu yang tidak diharapkan?

Lalu aku juga teringat mengenai biduk rumah tangga Kak Sofi yang bisa dibilang sudah di ujung tanduk. Pertengkaran yang hampir setiap malam terjadi itu pemicunya adalah ketidakmampuan Kak Ridwan dalam memberikan nafkah kepada istri dan anaknya. Tadinya itu bukanlah masalah besar karena dari awal Kak Sofi juga sudah tahu penghasilan Kak Ridwan tidak tetap, berbeda dengannya yang bekerja di sebuah perusahaan dan jenjang karirnya juga jelas, penghasilan pun tetap bahkan cenderung naik setiap tahunnya.

Seharusnya Kak Sofi sudah siap menghadapi situasi ini, hanya saja masalahnya tidak sebatas masalah nafkah lahir yang tidak didapat tetapi juga nafkah batin yang semakin hari semakin jarang ia rasakan. Seingatku sudah dua bulan terakhir Kak Ridwan sering tidur di kursi ruang tamu. Kak Sofi yang melarangnya untuk tidur di kamar. Aku juga pernah mendengar Kak Sofi mengatakan ‘perempuan itu’ beberapa kali, saat ia dan suaminya sedang cekcok. Dari situ aku sadar, Kak Sofi siap menghadapi kondisi finansial suami yang tidak stabil tetapi tidak siap menghadapi suami yang mempunya perempuan simpanan. Tentu saja, perempuan mana pun tidak akan siap.

Pertanyaan dalam kepalaku jadi semakin beranak-pinak. Mencoba menerka apa maksud ibu mengatakan hal seperti tadi kepada anak gadisnya yang paling besar yang belum menikah. Apa karena finansialku dianggap belum siap untuk menikah karena masih bekerja sebagai pegawai kontrak yang sewaktu-waktu bisa di-PHK? Apa sebenarnya ibu takut jika aku menikah, nasib rumah tanggaku seperti apa yang dialami oleh Kak Sofi sekarang? Atau ibu hanya takut jika aku menikah nanti, aku abai mengenai tanggungjawabku untuk membantu ibu membiayai sekolah adik-adik?

Selama pandemi dan 'terpaksa' untuk #dirumahaja, teman-teman ngapain aja sih? Kalau bingung mau ngapain, daripada waktunya terbuang untuk hal-hal yang kurang bermanfaat mending ikut kelas blog online yang diselenggarakan oleh The Jannah Institute (TJI). Mentornya siapa lagi kalau bukan Mbak Prita HW selaku founder dari TJI.

Sebelum sharing bagaimana seru dan bermanfaatnya Blogging Class #2 bersama mbak Prita HW, saya mau cerita dulu boleh ya? Siapa tahu bisa menginspirasi 😊

Kapan mulai nge-blog?

Jika ditanya soal pengalaman blogging itu artinya saya harus membawa pikiran saya kembali kepada tahun 2012-2015. Pada tahun tersebut kalau gak salah saya lagi aktif-aktifnya membuat postingan di blog, ya di situ startnya. Bertepatan dengan tahun ketiga dan terakhir saya sebagai mahasiswi di salah Universitas Andalas, Padang.



To be honest, pada waktu itu blog menjadi salah satu sarana bagi saya untuk mencurahkan perasaan. Iya, jadi semacam diary gitu. HEHEHE. Jadi ceritanya saya yang suka menulis seperti menemukan diary online. Biasanya yang saya posting di blog itu adalah tulisan-tulisan yang menggambarkan perasaan saya waktu itu. Misalnya lagi galau karena dosen pembimbing yang susah ditemui, skripsi yang gak kelar-kelar, hati yang sering patah #eh

Saya punya kebiasaan yang menurut saya cukup unik  yaitu suka bercerita dalam pikiran. Hal itu semacam jadi kebiasaan sebelum tidur. Entah itu berasal dari pengalaman atau hanya khayalan. Pengalaman pribadi itu misalnya ketika saya mengalami suatu hal yang membuat saya sangat takut, sedih, bahagia dan ingin menceritakan pada teman tapi sebelum melakukannya saya terlebih dahulu bercerita dalam pikiran saya seolah sedang bercerita pada teman saya itu. Namun, ujung-ujungnya saya tidak jadi melakukan tindakan nyatanya dan malah menuliskannya di blog tapi dengan sudut pandang yang berbeda.

Intinya yang menjadi inspirasi tulisan saya pada waktu itu adalah apa yang saya alami sendiri dan terkadang juga pengalaman orang-orang terdekat.

Saya juga sempat mengikuti event #30HariMenulisSuratCinta yang saya ketahui dari twitter. Pasa saat itu juga lagi eksis-eksisnya di platform media sosial yang satu itu. Event tersebut diadakan setiap tahun pada bulan Februari. Jadi, peserta harus menulis surat setiap hari, bebas kepada siapa saja di blog pribadi masing-masing lalu linknya di post di twitter, mention ‘tukang pos’ masing-masing. Tukang pos ditentukan oleh panitia yang mana waktu itu terdiri dari pada ‘selebtwit’ seperti @amrazing @misteriuss @gembrit dan kawan-kawan.

Mana? Kok gak ada di blog ini? TENTU SAJA SUDAH SAYA KEMBALIKAN KE DRAFT~

KENAPA? Karena ada beberapa tulisan yang ketika saya baca ulang saat ini, reaksi saya adalah ‘Dih, apaan sih ini? Masa iya aku nulis ini? Macam unfaedah gitu buat pembaca’ hehehe.

Dan karena jumlahnya terlalu banyak untuk disortir satu persatu, mana postingan yang menurut saya masih layak dipublikasikan, mana yang tidak layak dan waktu belum memungkinkan untuk melakukannya makanya saya centang semua dan kembalikan ke draft.

Mulai dari sini jadi punya keinginan bagaimana caranya bisa mendapatkan penghasilan dari tulisan. Entah itu tulisan panjang lewat blogging atau sekedar menulis 140 karakter di twitter atau bahkan jika memungkinkan nulis buku (alhamdulillah sudah terwujud meski bukan buku solo). Pokoknya bagaimana caranya kita melakukan hobi tapi dibayar, begitulah.

Tahun 2015 tepatnya bulan Agustus, pas banget tahun itu saya beres kuliah. Saya mendapatkan tawaran pekerjaan yang mendekati keinginan saya tersebut lewat seseorang yang saya kenal dari twitter. Alhamdulillah. Happy dong! Dia di Jakarta dan saya di Padang. Kami belum pernah bertemu sama sekali secara langsung. Dia percaya saya bisa karena dia juga sudah sering baca cuitan saya di twitter, dari situ kayaknya dia mulai melirik saya, ciee~

Jobdesk saya pada saat itu adalah membuat editorial plan, maksudnya membuat konten untuk beberapa brand food and beverages yang akan untuk diposting setiap harinya di Facebook, Twitter dan Instagram brand tersebut. Sekaligus merangkap admin dan membuat monthly report dari akun-akun tersebut. Dan saya sangat-sangat mencintai dan menikmati pekerjaan tersebut.

Hingga lupa dengan dunia blogging.  Padahal saya sudah membuat blog baru dari wordpress karena yang lama isinya terlalu alay menurut saya dan saya juga lupa sebenarnya bahwa blognya bisa dibuka pakai email abadi saya ini. Saya pikir saya membuatnya pakai email lain. Jadilah, akhirnya saya mencoba yang baru, wordpress.

Pada saat itu saya udah mulai jarang ngeblog, gak rutin seperti dulu. Mungkin karena ide sudah terkuras pada pekerjaan.                                                                                                                                          

Di blog yang baru itu selain masih sharing tentang perasaan, saya mulai memposting tulisan-tulisan terkait islam. Pada waktu itu saya baru menyadari bahwa berdakwah bisa juga dilakukan lewat tulisan dan setiap apapun yang kita tulis dan dipublish itu akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT. Dari sana, saya yang orangnya kurang percaya diri untuk berbicara di depan umum, pengetahuan tentang islam juga tidak seberapa, akhirnya memutuskan untuk menulis di blog dengan bekal ‘sampaikanlah walau satu ayat’.



Oh iya, waktu itu saya belajar blognya otodidak ya. Terlihat dari tema dan tata letaknya yang apa adanya ya.

Setelah itu saya vakum ngeblog, saya lupa karena apa. Intinya semenjak itu saya tidak pernah ngeblog lagi bahkan berhenti menulis di semua platform media sosial termasuk twitter dan instagram.

Bergabung Dengan TJI Community

Hingga pada suatu hari.. saya bergabung dalam TJI (The Jannah Institute) Community setelah mengikuti salah satu kelas online yang digawangi oleh TJI yaitu Kelas Menulis Caption yang dimentori oleh Mbak Prita HW. Saya jadi paham bagaimana algoritma instagram meski sebenarnya pengetahuan dasarnya sudah pernah saya dapat sewaktu saya bekerja sebagai Freelance. Di kelas menulis caption dari TJI, ilmunya lebih dipadatkan. Di samping itu kepercayaan diri saya untuk mempublish tulisan di media sosial juga kembali.

Banyak insight baru yang saya dapatkan berawal dari mengikuti kelas menulis caption tersebut. TJI ini gencar sekali mengadakan berbagai kelas online yang sangat bermanfaat, bukan kaleng-kaleng apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini, dimana kita diminta untuk #dirumahaja. Kelas-kelas online yang ditawarkan TJI bisa menjadi alternatif kegiatan bermanfaat selama #dirumahaja. Kalau mau tahu apa saja kelasnya, bisa langsung mampir ke instagramnya atau bisa japri saya juga.

Alhamdulillah, saya tidak menyesal sama sekali bergabung dengan TJI Community karena di samping banyak ilmu, banyak teman baru juga yang saya dapatkan. Apalagi teman yang bisa dibilang  punya passion yang sama dengan kita, yaitu sama-sama suka menulis. Saya bersyukur atas semua itu.

Dalam Whatsapp Group (WAG) TJI Community ini ada yang namanya agenda harian. Seperti igwalking, blog walking, sharing session, book review, market day, info event-kelas-giveaway. Dari sana mata saya tertuju pada blog walking. Lalu saya baru tahu kalau “oh, ngeblog itu masih laku’. Saya pikir orang-orang udah meninggalkan dunia blog karena sudah beralih ke instagram dan youtube. Asli, saya pikir udah jarang banget yang namanya blogger karena yang sering terdengar jaman sekarang itu vlogger dan tentu saya gak ada ketertarikan dengan vlog.

Saya pikir asik nih ada blog walking, bisa jadi motivasi untuk kembali menulis di blog. Tetapi saya bingung mulai dari mana hingga tak kunjung mulai.

DAN TERNYATAAAAAAAA .....

TJI BUKA BLOGGING CLASS #2 DAN ADA KELAS PREVIEW NYAAAA 😍

Ikut Blogging Class #2



Tanpa pikir panjang saya langsung join dong di kelas previewnya. Semua kelas online nya TJI kebetulan memang saya ikuti preview nya. Ya masa kesempatan emas dapat ilmu secara cuma-cuma disia-siain, kan gak mungkin. Setelah mengikuti preview yang review-nya saya tulis di akun instagram pribadi, saya memutuskan untuk lanjut ikut kelas lanjutannya, gak tanggung-tanggung, dengan restu dan izin suami, saya daftar semua kelasnya dari mulai basic-intermediate-advance. Karena memang berasa sekali ngeblog tanpa ilmu itu sama saja kayak mancing tapi gak ada umpannya (gak dapat-dapat ikannya).

Sebelumnya saya udah pernah ikut kelas online yang dimentori oleh Mbak Prita HW dan saya sama sekali gak ragu dengan materi yang akan saya dapatkan. Ekspektasi sesuai dengan realita.

Dari kelas basic saja, saya sudah mendapatkan banyak sekali pengetahuan baru dalam dunia blogging. Mulai dari memilih tema agar terlihat lebih pro sampai dengan mengutak-atik yang namanya Javascript. Nah loh! Keren gak tuh?

Saat ini saya sudah berhasil menyelesaikan kelas basic dan lanjut ke kelas intermediate. Kelas yang satu tahap di atas kelas basic ini materinya lebih kepada bagaimana mendatangkan traffic melalui konten blog. Hayooo, penasaran gak tuh gimana caranya?

Silahkan ikut kelas online nya di batch 3 nanti, ya.

Sama seperti beberapa kelas online lainnya yang diadakan oleh TJI, blogging class online #2 ini juga diadakan di sebuah WAG.

Kok kelas di WAG? Gak interaktif dong? 

Kata siapa? Dengan kreativitas dan kerja sama yang apik antara Mbak Prita yang seorang professional blogger dan sang suami, Mas Nana Warsita, seorang graphic designer (btw, ini couple goals banget gak sih?) berhasil membuat kelas menjadi tidak monoton dan sangat interaktif.

Materi diberikan dalam bentuk infografis yang selanjutnya diberi keterangan oleh Mbak Prita baik lewat chat maupun lewat voice note. Ada juga materi yang dikemas dalam bentuk video yang merupakan hasil dari screen recorder ditambah audio yang merupakan penjelasan dari materi yang ada dalam video.

Jadinya peserta lebih gampang banget memahami tahap demi tahap dalam ‘mengoprek’ tampilan blog. Apalagi buat saya pribadi yang benar-benar gak ngerti basic, itu benar-benar sangat membantu. Terima kasih loh Mbak, Mas :')

Oh iya, ada moderator juga loh yang mengawal jalannya kelas. Jadi waktu pemberian materi gak bentrok dengan waktu untuk melakukan tanya jawab. Sesi tanya jawab pun jadi lebih terorganisir berkat adanya moderator kesayangan TJI ini.

Setelah kelas berakhir, sebagai evaluasi peserta akan diberikan challenge. Ini part yang paling dinanti juga sih karena bisa langsung praktek dan nanti bisa tahu kita masih bingung di bagian mana. Dan gak usah takut kalau bingung, tinggal nanya lagi di wag atau bisa japri mentor dong. Saya cukup sering japri Mbak Prita untuk bertanya bagian yang membingungkan dan Mbak Prita dengan sabar memberi penjelasan kembali.

Jadi gak sabar untuk next kelas blog online nya yaitu kelas advance karena ke depannya melalui kelas blog online ini saya ingin mewujudkan keinginan saya yang lama yaitu melakukan hobi yang dibayar. Selain itu saat ini saya juga gencar mengikuti kelas menulis online lainnya.

Dan di luar itu semua, 

"Saya ingin apa yang saya tulis dibaca banyak orang dan bisa bermanfaat serta menginspirasi setiap pembacanya untuk berbuat baik."

Seperti kata Mbak Helvy Tiana Rosa, 

“Saya menulis bukan hanya untuk dunia, tetapi juga demi akhirat saya.”

Kalau kamu mupeng dan jadi penasaran habis baca tulisan ini, kalian bisa langsung kontak Mbak Prita HW atau The Jannah Institute untuk daftar kelas blog online tahap selanjutnya yaitu kelas advance. Atau kalau kamu masih newbie seperti saya bisa ikut kelas blog online di batch selanjutnya, jadi bisa mengikuti dari basic-intermediate-advance. 

Ayo, buat kegiatan #dirumah aja jadi seru dan juga bermanfaat!

 

 

 

 

 

 

 

 

Older Posts Home

ABOUT ME

Halo! Assalammualaikum. Perkenalkan, saya Maya. Seorang Sarjana Ilmu Administrasi Negara. Sekarang sibuk menjadi seorang istri, mengikuti berbagai kelas online demi mewujudkan mimpi menjadi professional blogger dan menerbitkan buku solo.

Followers

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • 1
  • Sumpah Pemuda dan Bocah Pemberani Asal Tanah Rencong
  • 5 Alasan Kenapa Milenials Harus Nonton Start Up
  • 3
  • 2

Categories

  • Ayadeflorian 3
  • Drakor 1
  • Fiksi 2
  • Han Ji Pyeong 1
  • Islam 3
  • Judul-Yang-Menarik 1
  • Kelas-Blog-Online 1
  • Kelas-Online 1
  • Knowledge 2
  • Korea 1
  • Literasi 3
  • Milenials 1
  • Nam Dosan 1
  • Novel 3
  • Novel-Percintaan 1
  • Nulis-Aja-Community 2
  • Pejuang Dua Garis Biru 1
  • Plagiarisme 1
  • Plagiat 1
  • Produktif Dalam Penantian 1
  • Rangga 1
  • Relationship 1
  • Romance 1
  • Safana 3
  • Serial TV 1
  • Sharing 4
  • Start Up 1
  • Sumpah-Pemuda 1
  • Suzy 1
  • Tips 1
  • Writing 3

Advertisement

Contact Form

Name

Email *

Message *

Oddthemes

Facebook

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates