Keraguan
PRANG!
Suara itu memaksaku untuk membuka mata yang tadinya
sedang merasakan nikmatnya tidur. Tadinya aku pikir suara itu berasal dari alam
mimpi ternyata bukan. Aku tarik lagi selimut yang sudah berada di ujung jari
kaki lalu ku tutup telingaku dengan bantal. Namun, ternyata tidak mempan.
PRANG!
Suara yang tadi lagi. Sepertinya ini piring atau benda apa aku tidak tahu, yang pasti terbuat dari kaca kedua yang terbentur entah ke lantai atau dinding dan lagi-lagi berhasil membuatku terpaksa membuka mata. Aku coba lagi untuk menutup mata berharap bisa kembali terlelap dan bangun saat adzan subuh sudah berkumandang. Tidak mempan juga rupanya. Meski suara kaca pecah tidak lagi terdengar, aku masih tidak bisa membawa mataku untuk masuk ke alam mimpi. Kali ini suara kaca pecah berganti dengan suara dua orang yang sedang bertengkar, saling membentak satu sama lain dan mengucapkan kata-kata makian. Maki-makian yang begitu kasar sehingga tidak sanggup untukku jabarkan panjang lebar.
Aku kesal, sedih, menyesal karena bisa mendengarkan semua
hal. Kesal karena harus terbangun dan tidak bisa tidur lagi padahal besok pagi
aku masih harus ke kantor meski hari Minggu. Sedih. Siapa yang tidak sedih saat
mendengar kakak kandung sedang bertengkar dengan suaminya? Tetapi itulah yang
terpaksa harus aku dengar beberapa hari belakangan ini. Apakah menikah
se-mengerikan ini? Se-pengetahuanku tidak. Dari yang sering ku dengar, menikah
itu justru memberikan ketenangan lahir dan batin. Tapi ini apa?
Oh iya, namaku Safana. Lengkapnya Safana Ulya Syarifah. Aku
tinggal dengan kakak beserta keluarganya. Bukan, aku bukan numpang tapi tinggal
bersama mereka. Rumah yang kami tempati itu masih hak milik ibuku karena itu
aku tidak menyebutnya numpang. Aku baru tinggal di rumah ini semenjak tahun
ke-2 kuliah. Dari kecil aku tinggal dengan keluargaku beserta keluarga besar
ibu, di sebuah rumah yang cukup besar tapi menurutku tetap tidak sesuai dengan
jumlah kepala yang menempatinya.
Ada tiga keluarga yang menetap di dalamnya dan masing-masing
keluarga mempunyai jumlah anak lebih dari dua orang. Bisa kalian bayangkan
bukan ramainya seperti apa? Itulah yang menjadi salah satu alasanku untuk
pindah ke rumah ibu yang ditempati oleh kakakku tersebut. Rumah sangat
sederhana tapi aku bahagia karena bisa memiliki kamar sendiri di sana.
Namun, kebahagiaanku terusik beberapa hari belakangan ini
karena harus ikut mendengar masalah rumah tangga orang. Tentu saja, aku tidak
ingin terlibat tapi jika sekedar mendengar dan kadang melihat apa yang terjadi,
bagaimana bisa mengelak?
Pagi
yang seharusnya tidak aku tunggu akhirnya datang. Alhamdulillah aku dapat
memejamkan mata meski hanya sekitar 30 menit sebelum adzan subuh menggema.
Kakak dan suaminya bertengkar dari jam 1 malam hingga menjelang pukul 2. Durasinya
memang tidak lama tetapi apa daya aku sudah terlanjur bangun dan tidak bisa
melanjutkan tidur. Ingin rasanya aku mangkir dari tugas lembur yang diberikan
oleh kantor dan melanjutkan tidur tapi suasana di rumah membuatku tidak ingin
berada di dalamnya untuk saat ini.
Selesai
berpakaian dan berhias sekedarnya, aku keluar dari kamar. Pelan-pelan membuka
pintu kamar. Begitu pintu kamar dibuka, aku langsung dapat melihat sosok
laki-laki tidur di sofa tanpa bantal ataupun selimut. Tidak ada yang aneh.
Kakak iparku itu memang sudah cukup sering tidur disana. Semua perabotan berada
di tempatnya. Tidak ada serpihan kaca di lantai. Tidak ada kesan yang
memperlihatkan bahwa malam tadi ada pertengkaran antara suami istri.
“Lembur?”
Suara perempuan yang sudah tidak asing bagiku terdengar dari belakangku. Cukup membuatku kaget karena dari tadi aku sibuk memperhatikan sekeliling.
“Iya.
Aku jalan. Assalammualaikum,” jawabku singkat lalu berpamitan pada kakakku,
Sofi. Aku berpamitan dengan cara yang kurang sopan memang karena sama sekali
tidak menatap ke arahnya saat berbicara. Bukan tanpa alasan, aku yakin Kak Sofi
juga sedang tidak ingin melakukan eye
contact denganku karena kejadian tadi malam.
Aku mengeluarkan sepeda motor juga dengan perlahan karena
takut membangunkan kakak iparku. Setelah di luar dan sedikit jauh dari depan
pintu rumah barulah aku menyalakannya.
“Bismillah,” ujarku sedikit berbisik sebelum memacu sepeda motor menuju kantor. Dalam perjalanan ke kantor pikiranku masih dipenuhi dengan pernikahan dan kemelut yang ada di dalamnya. Aku bertanya-tanya. Apa jika aku menikah nanti aku akan mengalami hal seperti dialami oleh kakakku? Apakah wajar suami istri saling memaki seperti itu? Tapi itu bukan wujud kasih sayang seperti yang digembar-gemborkan sebelum menikah. Atau apakah kakakku sudah salah menikahi orang? Ya, dengan kata lain kakak iparku ini bukan jodoh yang telah ditetapkah oleh Allah untuk Kak Sofi. Tapi kenapa mereka bisa bersatu dalam pernikahan kalau bukan allah yang menetapkan? Ribuan pertanyaan menemaniku dalam perjalanan ke kantor. Ribuan pertanyaan yang bermuara pada satu pertanyaan yang seharusnya tidak pernah terlintas di pikiranku. Apa sebaiknya aku tidak usah menikah?
*Bismillah, new project insyaallah. Ditunggu kelanjutannya ya :)
4 Comments
Cerita yang menarik. Kalau mengenai jodoh, misteri. Kalau mengenai pertikaian, mesti ada. Tapi, bisa diminimalisir dengan doa dan doa.
ReplyDeleteKak, mampir ya di blog saya:
https://www.mediapamungkas.com/2020/12/perantau-berliterasi.html
Konflik keluarga ini selalu menarik perhatian sekaligus menyesakkan :(
ReplyDeleteDitunggu lanjutanny, Kak
Naudzubillah... miris ya kak ceritanya... pernikahan itu harus lebih banyak belajar lagi.. lebih banyak memahami pasangan.. lebih banyak menerima.. doa doa dan doa..
ReplyDeleteAku sih lebih milih cuek aja kalo ada yang bertengkar gitu. Nanti juga bakal akur sendiri. Menurutku, menikah itu komitmen mbak. Sebagai orang dewasa, Kalo udah komitmen ya harus bisa menjaga dan merawat komitmen itu.at last, lebih baik kita berdoa aja mudah-mudahan Allah kasih berkah buat mbak dan sodaranya
ReplyDelete